![]() |
Ilustrasi Salam Khas Sunda, Sampurasun. Image By :splendidofsun.deviantart.com |
Sampurasun, adalah salam atau sapaan yang biasa diucapkan oleh sesama orang Sunda ketika bertemu, salam itu biasa dijawab dengan kata "Rampes", dimana ketika mengucapkan kata tersebut, biasanya tubuh si pemberi dan penerima salam akan rengkuh, sedikit membungkuk, dan bahkan itu disertai pula dengan telapak tangan yang dirapatkan di depan dada atau muka, semua dimaksudkan sebagai tanda memberi penghormatan pada lawan bicara. Ucapan salam khas Sunda tersebut, biasa dilakukan setelah sebelumnya mengucapkan salam "Assalamua'laikum" bagi mereka orang Sunda yang beragama Islam, baik dalam keseharian, apalagi dalam suasana formal.
Dari ilustrasi sederhana itu saja bisa dilihat keindahan silaturahmi yang terjalin dalam masyarakat Sunda. Melihat itu, tentu beragam respon pun muncul atas pelesetan yang dianggap sangat gegabah dan teledor itu, karena salam, dalam bahasa apapun termasuk dalam bahasa Sunda, sejatinya memiliki makna universal, yaitu mendoakan tentang kebaikan, keselamatan, dan hal-hal baik lainnya.
Namun, dari sekian banyak respon yang muncul dapat ditarik satu kesimpulan, sebagai orang Sunda yang pemaaf dan murah senyum, orang Sunda hanya menyayangkan kenapa kata seperti itu bisa terlontar dari seorang "Habib" (apalagi kata tersebut terlontar dalam suasana dakwah), selebihnya, orang Sunda hanya menuntut Habib yang bersangkutan untuk meminta maaf dan menyesali perbuatannya. Adapun jika sampai dilaporkan pada yang berwajib, itu mungkin hanya bonus karena berani mempelesetkan sebuah doa dengan sesuatu yang sangat-sangat berlawanan makna.
Dari ilustrasi sederhana itu saja bisa dilihat keindahan silaturahmi yang terjalin dalam masyarakat Sunda. Melihat itu, tentu beragam respon pun muncul atas pelesetan yang dianggap sangat gegabah dan teledor itu, karena salam, dalam bahasa apapun termasuk dalam bahasa Sunda, sejatinya memiliki makna universal, yaitu mendoakan tentang kebaikan, keselamatan, dan hal-hal baik lainnya.
Namun, dari sekian banyak respon yang muncul dapat ditarik satu kesimpulan, sebagai orang Sunda yang pemaaf dan murah senyum, orang Sunda hanya menyayangkan kenapa kata seperti itu bisa terlontar dari seorang "Habib" (apalagi kata tersebut terlontar dalam suasana dakwah), selebihnya, orang Sunda hanya menuntut Habib yang bersangkutan untuk meminta maaf dan menyesali perbuatannya. Adapun jika sampai dilaporkan pada yang berwajib, itu mungkin hanya bonus karena berani mempelesetkan sebuah doa dengan sesuatu yang sangat-sangat berlawanan makna.
Untuk menjawab pelesetan yang menyakitkan dalam sebuah acara di Kabupaten Purwakarta itu, Bupati Purwakarta H. Dedi Mulyadi SH sebagai Kepala Daerah dimana polemik itu dimulai, segera menjawab dan mengurai, mengenai apa makna dan arti sebenarnya dari kata Sampurasun. Beliau, Dedi Mulyadi, seorang Bupati yang juga merupakan budayawan Sunda itu menjelaskan secara gamblang tentang apa itu Sampurasun melalui tulisan yang diunggahnya di laman Facebooknya. Tulisan yang diunggah tersebut berjudul "Catatan Kecil Makna Sampurasun". Berikut isi dari tulisan tersebut, yang memuat penjelasan tentang Sampurasun ;
"Catatan Kecil Makna "Sampurasun"
Sampurasun berasal dari kalimat "sampurna ning ingsuh" yang memiliki makna "sempurnakan diri anda". Kesempurnaan diri adalah tugas kemanusiaan yang meliputi penyempurnaan pandangan, penyempurnaan pendengaran, penyempurnaan penghisapan, penyempurnaan pengucapan yang semuanya bermuara pada kebeningan hati. Pancaran Kebeningan hati akan mewujud sifat kasih sayang hidup manusia maka orang sunda menyebutnya sebagai ajaran Siliwangi, silih asah, silih asih, silih asuh.
Ketajaman inderawi orang Sunda dalam memaknai sampurasun melahirkan karakter waspada permana tinggal (ceuli kajaga ku runguna, panon kajaga ku awasna, irung kajaga ku angseuna, letah kajaga ku ucapna, yang bermuara pada hate kajaga ku ikhlasna) waspada permana tinggal bukanlah sikap curiga pada seluruh keadaan tetapi merupakan manifestasi dari sosok perilaku Sunda yang deudeuhan welasan, asihan, nulung kanu butuh nalang kanu susah nganteur kanu sieun nyaangan kanu poekeun. Selalu bersikap tolong menolong pada sesama makhluk hidup.
Sikap ini melahirkan budaya gotong royong yang dilandasi semangat sareundeuk saigel sabobot sapihaeuan, ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salogak, sistem komunalitas yang bermuara pada kesamaan titik penggerak pada sang Maha Tunggal Penguasa Seluruh Kesemestaan.
Memusatkan seluruh energi kemanusiaan pada KemahaTunggalan Allah Penguasa Alam Semesta melahirkan karakter peng-aku-an dalam diri orang Sunda, hirup ukur sasampeuran, awak ukur sasampayan, sariring riring dumadi sarengkak saparipolah sadaya kersaning Gusti Nu Maha Suci, sifat totalitas ini melahirkan sosok yang bernama Rawayan Jati Ki Sunda.
Dari tulisan yang mengurai makna di balik kata Sampurasun tersebut, tentu tidak elok jika keluhuran dan falsafah hidup yang terkandung di dalamnya dipelesetkan menjadi sesuatu yang sangat-sangat bertolak belakang, bahkan, jika dihadapkan pada makna positif yang terkandung di dalamnya itu, kata campur racun jelas mengandung unsur sarkasme yang benar-benar melecehkan falsafah hidup orang Sunda.