Quantcast
Channel: My Sumedang
Viewing all 114 articles
Browse latest View live

Curug Cipadayungan Dan Potensinya

$
0
0
Pengunjung Sedang Mandi di Curug Cipadayungan
Curug Cipadayungan Belum Ditata Dengan Baik
Curug Cipadayungan merupakan air terjun yang berukuran relatif kecil yang berada di dekat Bumi Perkemahan Cipadayungan, Curug Cipadayungan dan Bumi Perkemahan Cipadayungan sendiri berada dalam satu lingkup wana wisata,  yaitu Wana Wisata Cipadayungan. Curug Cipadayungan sedari dulu dipercaya  mempunyai daya tarik wisata, kendati demikian hal tersebut sampai sekarang belum dimaksimalkan. Bagaimana keadaan Curug Cipadayungan sekarang ?? Berikut ulasannya

Sangat sejuk, itulah kesan pertama yang Admin rasakan ketika pertama kali menginjakkan kaki di dekat air terjun ini berada, udara sejuk bercampur dinginnya uap air yang berhamburan kesegala penjuru membuat pengunjung betah berlama-lama di tempat ini. Curug Cipadayungan, begitulah nama curug/air terjun ini biasa disebut, disebut Curug Cipadayungan karena air terjun ini berada dalam kawasan Wana Wisata Cipadayungan.

Salah seorang warga sekitar, Abah Dewa (70) mengatakan bahwa pada akhir pekan Curug yang berada di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka ini biasanya ramai didatangi oleh pengunjung. Pengunjung yang datang biasanya adalah mudi mudi yang sedang menghabiskan waktu senggangnya. “Setiap sore itu banyak yang datang, apalagi hari Sabtu dan Minggu, itu banyak sekali yang main kesini,” kata Abah.

Pengunjung yang datang ada yang hanya sekedar ngobrol-ngobrol di lokasi, dan banyak juga yang mencoba mandi di air terjun. Tak jarang pengunjung datang hanya untuk mandi, lalu pulang lagi, hal tersebut dikarenakan banyak yang percaya bahwa guyuran air terjun di Curug Cipadayungan mempunyai efek pengobatan.

Pengunjung Mandi di Curug Cipadayungan
Pengunjung Melakukan Terapi di Curug Cipadayungan
“Banyak yang percaya bisa mengobati stroke, sakit badan, pegal-pegal, dan lainnya. Bukan karena alasan mistis, tapi ketinggian guyuran airnya dirasa pas, dan itu enak sekali pas kena badan, seperti dipijit-pijit, jadi bisa dipakai terapi,” jelas pria yang sehari-harinya menyapu dan membersihkan kawasan curug ini. Abah mengaku, setiap harinya dirinya membersihkan kawasan curug secara sukarela.

Selain mempunyai keunikan untuk pengobatan, suasana dan  pemandangan kebun pinus di sekitar curug juga sangat indah. Menurut Abah, hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi Curug Cipadayungan untuk bisa dikembangkan menjadi objek wisata. “Kalau ditata dan dikembangkan, bukan tidak mungkin ini bisa menjadi objek wisata andalan, curug atau air terjunnya memang relatif kecil, tapi toh Curug Ciputrawangi juga sama, curugnya relatif kecil tapi bisa terkenal dan jadi objek wisata andalan di Sumedang,” ujar Abah.

Wana Wisata Cipadayungan merupakan milik dan berada dalam pengelolaan Perhutani, namun demikian pengelolaan dirasa tidak maksimal dan terkesan dibiarkan begitu saja. Dengan demikian potensi yang ada tidak benar-benar dimanfaatkan. Jika Wana Wisata Cipadayungan dimaksimalkan sebagai objek wisata, akan berimbas juga pada peningkatan perekonomian penduduk. Untuk sampai ke Curug Cipadayungan, jika dari arah kota Sumedang tinggal naik Angkutan Perdesaan Sumedang - Citimun (mobilnya warna kuning), lalu turun di pertigaan Pasar Citimun, selanjutnya tinggal mengikuti jalan menuju Desa Padasari, Wana Wisata dan Curug Cipadayungan akan ditemui di tengah perjalanan menuju Desa Padasari.

“Kita sangat ingin mengembangkan ini (menjadi objek wisata), tapi ini milik Perhutani dan kami tidak punya akses untuk dialog kesana. Lagipula di plang namanya sudah tertulis ‘Wana Wisata Cipadayungan’ kan ?? sayang kalau tidak dikembangkan menjadi objek wisata,” pungkas Abah.

*********

Air terjun/curug di Wana Wisata Cipadayungan yang terletak di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, menyimpan potensi pengobatan. Air terjun yang tidak terlalu besar dengan curahan airnya yang tidak terlalu deras dirasa pas untuk terapi pengobatan. Beberapa orang mengaku sudah berhasil melakukan terapi di tempat tersebut.

Kegiatan Kemah di Wana Wisata Cipadayungan
Kegiatan Kemah di Wana Wisata Cipadayungan
Salah satunya adalah H. Ir. Sukarna, Sukarna mengatakan dirinya sekarang rutin melakukan terapi guyuran air terjun di Curug Cipadayungan. Dengan rutin melakukan terapi guyuran air terjun, kondisi badannya dirasa makin fit. “Alhamdulillah, dulu badan saya sering pegal-pegal, bolak-balik berobat ke dokter pun tidak sembuh-sembuh, tapi semenjak melakukan terapi disini kondisi badan saya berangsur membaik,” kata Sukarna.

Sukarna menambahkan, untuk mendapatkan manfaat dari terapi air terjun, pasien harus melakukannya secara rutin, minimal lima kali terapi. Derasnya curahan air terjun membuat badan terasa dipijit-pijit. “Minimal lima kali lah dalam satu bulan, kalau kedepannnya dilanjut seminggu sekali itu lebih baik lagi, tidak perlu lama-lama, cukup sepuluh menit sekali terapi, badan pasti terasa lebih segar,” ujar pria asal Ciater, Desa Galudra itu.

Sukarna mengaku, bahkan dirinya pernah membawa temannya yang pernah terkena stroke untuk melakukan terapi di curug tersebut. Hasilnya cukup memuaskan, kondisi badan pasca strokenya berangsur membaik. “Lihat saya juga sebagai buktinya, sudah 83 tahun tapi masih segar, masih kuat olahraga dan lain-lain, berkat rutin terapi disini,” tukas Sukarna.

Namun demikian, Sukarna mewanti-wanti bahwa hakikatnya kesembuhan datangnya dari Allah. Terapi apapun termasuk terapi air terjun seperti yang dilakukannya hanyalah sebagai media saja. “Yang penting kita yakin dulu (bakal sembuh), dan niatkan berobat karena Allah dengan mengucap Bismillah,” pungkas Sukarna.

*Diterbitkan di Harian Sumedang Ekspres, 19 dan 21 April 2015

Transformasi Seni Gembyung

$
0
0
Tatang Kusnadi, Salah Satu Pupuhu Seni Gembyung
Seni Gembyung merupakan seni yang awalnya berkembang di daerah pesisir (Cirebon) dan baru masuk ke Sumedang pada masa pemerintahan Pangeran Santri. Pada awal perkembangannya, Seni Gembyung digunakan oleh para pemuka agama sebagai media untuk menyebarluaskan syiar Islam. Di Sumedang, Seni Gembyung masih tetap bertahan di beberapa daerah, salah satunya di Dusun Buganggeureung, Desa Sekarwangi, Kecamatan Buahdua melalui Lingkung Seni Gembyung Pusaka Mekar. Bagaimana perkembangan Seni Gemyung sekarang ini ?? Berikut ulasannya

Seni Gembyung sebagai sebuah seni buhun, sekarang bertransformasi dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Seni Gembyung buhun yang awalnya tidak memakai sinden/juru kawih dan hanya menggunakan alat musik tradisional seperti tiga buah terebang, kendang, goong, kecrek, peyung, terompet dan lainnya beralih menjadi musik modern yang biasanya dalam pementasannya ditambah organ dan juru kawih/penyanyi. Hal tersebut dilakukan supaya Seni Gembyung bisa tetap eksis dan tidak ditinggalkan.

Seperti dikatakan salah satu Pupuhu Seni Gembyung  di Grup Seni Gembyung Pusaka Mekar, Tatang Kusnadi, yang mengatakan bahwa selain alat musik dan juru kawih, lagu-lagu yang biasa dimainkan dalam Seni Gembyung pun mengalami perubahan. Lagu yang biasa dimainkan dalam Seni Gembyung buhun biasanya adalah Yate, Engke, Sulton, Sampeu, Doyong, dan lainnya, sedangkan sekarang Seni Gembyung modern banyak membawakan lagu dangdut ataupun lagu yang sedang hits. “Tapi itupun situasional, tergantung permintaan. Kalau ada yang meminta kita memainkan Seni Gembyung Buhun, kita tetap bisa mainkan,” kata Tatang.

Tatang menambahkan, hal tersebut (beralihnya Seni Gembyung Buhun menjadi seni modern) semata-mata untuk mempertahankan keberadaan atau eksistensi Seni Gembyung itu sendiri. Sasarannya adalah, agar kaula muda mau menjadi penikmat Seni Gembyung guna menghindarkan Seni Gembyung dari kepunahan. “Kalau Seni Gembyung Buhun, memang anak muda ada yang suka, tapi tidak banyak, kita akali itu dengan merubah konsep pertunjukan Seni Gembyung,” tambah Tatang.

Tatang menjelaskan, dulunya Seni Gembyung Buhun biasa digelar pada upacara guar bumi, acara ruwatan atau Mapag  Sri ketika musim tanam padi tiba, tapi sekarang Seni Gembyung sudah biasa dipentaskan dalam acara-acara hajatan/syukuran seperti pernikahan dan lainnya. “Dari situ saja Seni Gembyung harus sudah beradaptasi, apalagi dengan perkembangan zaman seperti sekarang ini,” jelas Tatang.

Menurut Tatang, dari semenjak Seni Gembyung datang ke Kampung Cikeresek, Desa Cilangkap (dulu belum ada Desa Sekarwangi) tahun 1938, Seni Gembyung tumbuh dan berkembang dengan dukungan para inohong. “Alhamdulillah, dari dulu para inohong mendukung perkembangan Seni Gembyung ini,” ujar Tatang.
Tatang berharap, Seni Gembyung dan seni tradisional lainnya pada umumnya di Kabupaten Sumedang bisa tetap bertahan. Bagaimanapun caranya, meskipun harus beradaptasi dengan perkembangan zaman asalkan seni Buhunnya tetap dipelihara dan tetap bisa dipentaskan. “Sumedang kan Puseur Budaya Sunda, malu atuh kalau seni-seni buhunnya pada punah,” pungkas Tatang.

*Diterbitkan di Harian Sumedang Ekspres, 24 April 2015

Unik, Mengobati Sakit Gigi Menggunakan Media Batok

$
0
0
Pemgobatan Unik
Teh Yayah sedang mengobati sakit gigi pasiennya,
Iti di rumahnya di Desa Naluk, Kecamatan Cimalaka
Di Dusun Nagrak, Desa Naluk, Kecamatan Cimalaka, ada seorang  tabib, sebut saja demikian, yang bisa melakukan pengobatan dengan cara yang unik. Pengobatan unik yang dimaksud adalah mengobati sakit gigi dengan media batok (tempurung kelapa). Selain batok, bahan obat yang digunakan hanya minyak kelapa dan biji terong leuweung (terong hutan).

Sang tabib yang biasa dipanggil teh Yayah mengatakan, dirinya telah melakukan pengobatan dengan cara tersebut selama sembilan tahun. Selama melakukan prakteknya, pasien datang dari Sumedang dan luar kota. “Pasien datang dari berbagai daerah di Sumedang, kalau dari luar kota itu dari Bandung dan Jakarta,” kata teh Yayah.

Teh Yayah menambahkan, pasien yang datang biasanya tahu tentang pengobatannya melalui berita dari mulut ke mulut. Selama melakukan prakteknya, selalu berhasil mengobati pasien yang datang. “Alhamdulillah, satu kali pengobatan biasanya langsung sembuh, asalkan pasien sebelumnya tidak minum obat terlebih dahulu, karena kalau minum obat dulu itu biasanya jadi bentrok (obatnya),” tambah teh Yayah.

Teh Yayah mengaku, tidak mematok biaya dalam pengobatan yang dilakukan olehnya. Hal tersebut dilakukannya karena niat awalnya adalah menolong sesama. Bahkan, di rumahnya tidak tersedia ruangan khusus untuk mengobati seperti halnya di tempat lain. “Seridonya saja, mengobatinya juga biasanya disini (halaman) atau di dalam rumah, dan tidak obat yang harus dibawa pulang,” ujar teh Yayah.

Teh Yayah menjelaskan, secara lengkap alat yang digunakannya dalam pengobatan adalah batok kelapa, minyak kelapa, biji terong leuweung,  bambu tamiang berukuran kira-kira sepuluh centimeter, piring seng, genting, dan air. “Yang agak repot itu mencari terong leuweungnya, harus cari ke gunung-gunung, kalau sengaja menanam, jarang sekali bisa tumbuh,” ungkapnya.

Cara pengobatannya adalah dengan cara pasien meniup melalui bambu tamiang yang telah terhubung dengan batok, sementara di dalam batok, genting dibakar bersama minyak kelapa dan biji terong, kesemuanya disimpan dalam piring seng yang telah diisi air. Gentingnya sendiri menjadi alas agar minyak dan biji terong tidak terkena air di pring seng.

“Setelah itu dilakukan, maka kutu-kutu gigi, yang mirip cacing keremi akan keluar dan menempel di batok,” jelas teh Yayah sambil memperlihatkan cara prakteknya pada pasiennya, Iti. Dan ternyata benar saja, ketika batok dibalik, kutu-kutu gigi yang mirip cacing berukuran kecil menempel di dinding batok, cacingnya sendiri berwarna putih. “Semakin parah sakitnya, semakin banyak kutu giginya,” jelas teh Yayah lagi.

Teh Yayah mengungkapkan, banyak juga yang mencoba meniru cara pengobatannya tersebut, namun tidak ada yang berhasil. Teh Yayah mengaku heran dengan hal itu, mengingat caranya mengobati sangat sederhana. “Kalau saya secara pribadi, siilahkan saja kalau mau ditiru, toh caranya juga mudah. Tapi selama ini katanya tidak ada yang berhasil (meniru) dan pasien masih tetap berdatangan kesini, mungkin masih rejekinya dari Allah, Alhamdulillah,” kata teh Yayah sambil tersenyum.

Menurut teh Yayah, dirinya mendapat cara pengobatan buhun tersebut adalah  dari suaminya, dimana di keluarga suaminya cara tersebut adalah pengobatan sederhana yang diwariskan secara turun temurun. Saat ini, teh Yayah mengaku dirinya siap mengobati pasien yang datang pada hari apapun, kecuali hari Sabtu. “Hari apa saja, kecuali hari Sabtu,” pungkas teh Yayah.

*Diterbitkan di harian Sumedang Ekspres, Maret 2015

Terancam Punah, Seni Tutunggulan Perlu Regenerasi

$
0
0
Seni Tutunggulan. Menjadikan Lisung & Halu Sebagai Alat Musik
Image By :
jabar.tribunnews.com
Di Kabupaten Sumedang, Seni Tutunggulan adalah sebuah seni yang berasal dari Desa Cacaban, Kecamatan Conggeang. Dalam pertunjukannya, Seni Tutunggulan ini terhitung sederhana namun juga unik, karena hanya menggunakan dua perkakas pengolahan padi yang dijadikan dua alat untuk menghasilkan musik, dua perkakas tersebut adalah lisung dan halu. Kendati alat yang digunakan sangat sederhana dan tidak rumit, ternyata sedikit sekali kaula muda yang mau menekuni seni ini. Bagaimana keberadaan Seni Tutunggulan ini sekarang ? berikut ulasannya.

Seni Tutunggulan yang berasal dari Desa Cacaban, Kecamatan Conggeang perlu regenerasi. Generasi muda yang ada di desa, sekarang kurang berminat menekuni seni yang hanya dimainkan dalam rangka menyambut hari kemerdekaan ini.  Jika hal tersebut dibiarkan,  tidak mustahil kedepannya Seni Tutunggulan akan punah.

Seperti dikatakan oleh Sekretaris Desa Cacaban, Acep Momo yang mengatakan bahwa seni yang dimainkan oleh delapan orang perempuan tersebut sekarang sepi peminat dari kalangan remaja. Hal tersebut diakibatkan oleh perkembangan zaman dan masuknya kebudayaan asing yang dianggap lebih baik. “Seninya masih ada dan sampai sekarang masih selalu dimainkan,  tapi tidak ada regenerasi, pemainnya itu-itu saja,” kata Acep.

Acep menambahkan, pemain Seni Tutunggulan yang masih ada sekarang  hampir semua sudah berusia lanjut. Selain itu, pemain yang masih bisa memainkan Seni Tutunggulan juga terhitung minim. “Yang masih ada dan masih bisa memainkannya antara lain Ma Titi, Ma Icih, Ma Ela, Ma Engkar, Ma Ayem, dan Ma Jumarsih dan ada beberapa orang lagi. Jika salah seorang  sakit (dan tidak bisa bermain) saja, maka kita akan kesulitan (mencari orang lain yang bisa),” tambah Acep.

Menurut Acep, seni yang hanya menggunakan lisung dan halu sebagai alat musik ini terhitung unik. Karena dengan menggunakan dua perkakas itu saja, bisa menghasilkan suara dan irama musik yang berbeda-beda. “Untuk menghasilkan suara yang berbeda-beda, diatur letak memukulnya, ada yang memukul di pinggir, agak pinggir, dan di tengah lisung,” ujar Acep.

Letak memukul yang berbeda  menjadikan  dua alat tersebut bisa memiliki tiga suara. Tiga suara yang ada dipadukan dengan jeda-jeda dan giliran tertentu sehingga bisa menghasilkan musik dengan sebuah irama. “Tidak jauh berbeda dengan tataluh atau tatabeuhan, begitulah gambarannya,” jelas Acep.

Acep berharap, generasi muda di desa bisa lebih peduli lagi terhadap seni tradisional Desa Cacaban. Sebab sebuah seni, dalam hal ini Seni Tutunggulan, merupakan kekayaan yang tidak ternilai warisan dari generasi terdahulu di Desa Cacaban. “Harus lebih digugah lagi, dan utamanya harus ada kemauan dari kaula mudanya dalam melestarikan Seni Tutunnggulan ini,” pungkas Acep.

Album Guruku Pahlawanku Untuk Bu Een

$
0
0
Charlie Van Houten menyalami warga
 saat syukuran album “Guruku Pahlawanku di Rumah Pintar Al Barokah
“Uwa (Een Sukaesih), walaupun untuk duduk saja beliau kesulitan, tapi beliau selalu bisa menjadi sandaran bagi orang lain, beliau menjadi sandaran hati dan jiwa yang menenangkan bagi orang-orang di sekitarnya,” begitulah kata pertama yang terucap dari Teh Lela, begitu dia biasa disapa, salah seorang murid kesayangan Een Sukaesih (Almh) ketika ditanya oleh Charlie Van Houten, tentang kesannya selama bersama Een Sukaesih, Sang Guru Qalbu. Suasana keharuan begitu menyelimuti acara syukuran album bertajuk “Guruku Pahlawanku” itu. Bagaimana jalannya syukuran tersebut ?? berikut ulasannya :

Charlie Van Houten, vokalis SET14 Band berkunjung kembali ke Rumah Pintar Al Barokah di Dusun Batukarut, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Jumat  1 Mei 2015 kemarin.  Kunjungan tersebut bertujuan untuk syukuran  album “Guruku Pahlawanku” sekaligus Soft Opening album tersebut. Sebelum kunjungan dan acara soft opening dimulai, terlebih dahulu  anak-anak Rumpin dari sentra panggung dan sentra bermain mempertontonkan kretifitasnya dari pukul 09.00 WIB.

Pendiri sekaligus pembina rumah pintar,  Mahdi mengatakan bahwa selama ini Charlie Van Houten sudah beberapa kali berkunjung ke Rumah Pintar Al Barokah. Dengan demikian, Charlie sudah cukup dekat dengan anak didik dan jajaran pengelola rumah pintar. “Dengan sekarang, Charlie sudah tiga kali ke sini, pertama ketika bulan Ramadhan tahun 2013, lalu yang kedua ketika Uwa (Een Sukaesih) meninggal 13 Desember 2014, dan yang ketiga ya sekarang ini,” kata Mahdi sebelum acara dimulai.

Suasana Saat Syukuran Berlangsung
Charlie Diapit Shafira dan Teh Lela,
Saat Syukuran Berlangsung
Mahdi menambahkan, lagu di album “Guruku Pahlawanku” dulu diciptakan Charlie ketika berkunjung ke rumah pintar di bulan Ramadhan, di hadapan Een Sukaesih. Namun, karena kesibukannya lagu di album tersebut baru bisa di release ketika Een sudah meninggal. “Diciptakannya dulu waktu Uwa masih ada, diciptakannya di depan Uwa juga. Sekarang Soft Opening dulu, Grand Openingnya nanti tanggal delapan,” tambah Mahdi.

Acara semakin hangat ketika menjelang sore Charlie tiba di lokasi rumah pintar dan langsung menyalami warga yang menunggu di sepanjang gang menuju Rumpin. Sebelum naik ke panggung dan menyapa warga, Charlie melakukan ziarah terlebih dahulu ke makam Een. “Maaf telat, tadi dijalan agak macet,” sapa Charlie dengan ramah yang disambut tepuk tangan warga. Dalam kunjungan itu, Charlie mengajak teman duetnya dalam lagu Guruku Pahlawanku, Shafira.

Dalam soft opening itu, Charlie mengajak murid kesayangan Een Sukaesih, Teh Lela, untuk duet bersama menyanyikan lagu berjudul “Saat Terakhir”. Suasana haru langsung menyelimuti ketika Charlie dan teh Lela menyanyikan lagu tersebut. “Uwa sekarang memang telah tiada, tapi semangatnya harus selalu tertanam dalam jiwa dan hati kita semua, kita teruskan perjuangan beliau,” kenang Charlie.

Acara berlanjut dengan duet Charlie dan Shafira menyanyikan lagu “Guruku Pahlawanku,”. Melalui lagu tersebut, banyak pesan yang ingin disampaikan Charlie, yang mana pesan itu  juga sesuai dengan amanat Alamarhumah Een Sukaesih. “Sesuai pesan Uwa, bahwa pendidikan di Indonesia harus berbasis kasih sayang, kita harus sama-sama berusaha wujudkan hal tersebut,” pungkas Charlie di akhir acara.

Video Kunjungan Charlie Ke Rumah Pintar, 1 Mei 2015

Mebel Desa Bongkok

$
0
0
Kepala Desa Bongkok, Endut Muhtar  di Salah Satu Tempat Pengrajin Mebel di Desa Bongkok
Kepala Desa Bongkok, Endut Muhtar
di Salah Satu Tempat Pengrajin Mebel di Desa Bongkok
Desa Bongkok, Kecamatan Paseh, selain mempunyai Salak Bongkok dan Salak Slebong sebagai hasil perkebunan unggulan yang menjadi ciri khas desa, juga mempunyai kreasi mebel yang cukup menonjol di Sumedang. Oleh sebab itu  jika berbicara tentang mebel di Kabupaten Sumedang, maka kebanyakan orang akan teringat Desa Bongkok sebagai salah satu diantara sentra mebelnya. Bagaimana perkembangan mebel Desa Bongkok sekarang ? berikut ulasannya.

Melihat dari runtutan waktunya, Kepala Desa Bongkok, Endut Muhtar mengatakan bahwa dulunya sentra mebel di Kecamatan Paseh adalah Desa Pasir Reungit. Namun, seiring waktu pengusaha mebel di Desa Pasir Reungit banyak yang beralih ke usaha pembuatan oncom, sehingga lahirlah Oncom Pasir Reungit sebagai makanan khas dari Desa Pasir Reungit. Kemudian, usaha pembuatan mebel di Kecamatan Paseh bergeser ke Desa Bongkok, Desa Bongkok sendiri tidak terlalu jauh jaraknya dari Desa Pasir Reungit.

Hal tersebut terjadi karena Desa bongkok mempunyai SDM yang berpotensi di bidang per-mebel-an. Pusat-pusat pembuatan mebel pun sekarang tersebar di beberapa dusun di Desa Bongkok. Namun, karena sekarang  iklim usaha mebel sedang lesu  dan kurangnya modal dalam melakukan usaha, pelaku usaha mebel di Desa Bongkok banyak yang gulung tikar. “Dulu, kita sampai punya enam puluh lima pengrajin (mebel) aktif, sekarang hanyak sekitar tiga puluh lima saja yang usahanya masih berjalan,” kata Endut.

Endut menambahkan, untuk bisa menyokong pelaku usaha mebel yang masih aktif, desa telah mengupayakan penambahan modal tiga kali lipat dari modal awal. Hal tersebut dimaksudkan, agar ketika pasar lesu (seperti sekarang) poses produksi masih bisa dilakukan. “Jangan sampai berhenti produksi, sayang kan, bagaimanapun ini (mebel)  sudah menjadi ‘khasnya’ Desa Bongkok selain salak,” tambah Endut.

Menurut Endut, mebel Desa Bongkok yang biasa dibuat dari kayu Jati, Mahoni, dan Tisuk tersebut sudah diakui kualitasnya dan sudah dijual ke berbagai daerah di pulau Jawa.  Bahkan, penjualan mebel Desa Bongkok bisa menembus sampai ke luar pulau Jawa. “Hasilnya kita jual ke toko-toko mebel, kalau seperti Sumedang, Tasik, Bandung dan lainnya itu sudah tentu. Paling jauh kita pasok sampai ke Jawa (tengah dan timur) dan Lampung,” jelas Endut.

Ucapnya,  melihat potensi tersebut sangat disayangkan jika pengrajin dan produksi mebel Bongkok berkurang, karena prospek usahanya sangat bagus. Karena itu Endut berharap, pemerintah bisa memberikan bantuan dalam hal permodalan dan fasilitasi dalam hal penjualan.  “Kalau dalam permodalan, kita berharap adanya bantuan kredit usaha khusus dengan bunga yang rendah. Sementara untuk fasilitasi, mungkin pemerintah bisa membukakan akses dalam hal penjualan, supaya ekspansi Mebel Desa Bongkok bisa lebih jauh lagi,” pungkas Endut.

*Diterbitkan di harian Sumedang Ekspres, 23 April 2015

Komunitas Guriang Tunggal Dangiang Padjadjaran

$
0
0
Komunitas Guriang Tunggal dangiang Padjadjaran
Komunitas Guriang Tunggal Dangiang Padjadjaran
Sebuah komunitas biasanya pasti ingin menonjolkan diri ke permukaan, caranya pun bermacam-macam, dari yang biasa sampai yang unik untuk menarik perhatian orang banyak. Di Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka ada sebuah komunitas yang bisa dibilang mempunyai penampilan unik dan terlihat berbeda dari yang lain, mereka adalah komunitas Guriang Tunggal Dangiang Padjadjaran. Apa kegiatan dari komunitas tersebut dan bagaimana mereka mempertahankan eksistensinya ?? berikut liputannya.

Tidak menyengaja berpenampilan unik, tapi orang-orang menganggap kita berpenampilan unik, itu kata pertama yang terucap dari mulut Ki Wijaya Kusuma, perwakilan dari komunitas Guriang Tunggal Dangiang Padjadjaran ketika menjawab pertanyaan Admin terkait penampilan komunitas tersebut. Bagaimana tidak, penampilan komunitas itu terlihat mencolok dan berbeda ketika berbaur dengan orang-orang di sekitarnya. Dengan memakai pakaian salontreng, iket, totopong, dudukuy , dan aksesoris khas sunda lainnya yang serba hitam, menjadikan mereka memiliki kekhasan tersendiri dan terlihat unik.

“Sebenarnya kita hanya berpenampilan ala orang-orang  Sunda buhun, dan ditambah sedikit aksesoris saja, seperti misal batu akik,” kata Ki Wijaya. Itu adalah pakaian dan aksesoris yang biasa dipakai orang-orang Sunda jaman dahulu, sekarang dinilai berbeda karena memang sudah jarang orang yang memakainya, jelasnya.

Ki Wijaya menambahkan, komunitas yang berdiri sejak tahun 1996 itu mempunyai banyak anggota yang tersebar di Sumedang, namun, yang memakai pakaian ala Sunda buhun hanya sembilan orang. Ke-sembilan orang tersebut menjadi simbol dari komunitas, jika salah satu dari sembilan orang itu keluar dari komunitas, baik karena meninggal dan lain-lain, maka akan digantikan oleh anggota yang lainnya.

“Sembilan itu kita mengambil filosofi para wali, sekarang anggota komunitas yang berpenampilan seperti ini adalah saya (Ki Wijaya Kusuma), Ki Obes, Ki Bagus Wiraguna, Agus Opak, Ki Jangkung, Nyi Jenong, Ki Kobra, Ki Kebok Kenong, dan Agus Japra,” terang Ki Wijaya. Kemanapun komunitas ini pergi, selalu membawa satu buah kecapi, kecapi ini berfungsi sebagai pengiring irama ketika melakukan rajah dan ruwat lembur, dengan Agus japra sebagai pemain kecapinya.

Menurut Ki Wijaya, penampilan tersebut juga menjadi simbol bahwa komunitas Guriang Sunda Dangiang Padjadjaran bertujuan melestarikan budaya sunda, agar budaya sunda bisa menjadi lebih eksis dan terangkat kembali. Dalam prakteknya, komunitas ini akan mempertontonkan keahlian mereka sesuai permintaan yang mengundang.

“Jadi seringnya, kita diundang oleh yang punya hajat untuk mempertontonkan keahlian kita. Di situ kita biasanya mempraktekkan berbagai atraksi seperti debus, pertunjukan ular, kebal direbus, dan lainnya,” pungkas Ki Wijaya.

Mata Air Unik di Desa Cibubuan

$
0
0
Mata air Unik
H. Ali Fathoni, Pemilik Sawah Menunjukkan
Mata Air Panas Yang Berada di Tengah Sawah
Di Dusun Ciledre, Desa Cibubuan Kecamatan Conggeang terdapat potensi daerah yang cukup unik, potensi keunikan daerah tersebut adalah mata air yang lain daripada yang lain. Ya, di Dusun Ciledre, Desa Cibubuan terdapat tiga mata air unik dengan posisi berjejer, dimana setiap mata airnya memiliki keunikan tersendiri yaitu mata air panas, mata air rasa asin dan mata air rasa masam. Semua mata air unik itu terdapat di satu lokasi, yaitu di blok sawah Cipanas.  

Ketiga mata air itu merupakan potensi yang belum terjamah dan dikelola oleh pihak manapun, keadaan alam di sekitar lokasi pun masih sangat asri dan indah. Lokasinya yang berada tepat di kaki gunung Tampomas dengan hamparan sawah yang hijau bisa memanjakan mata siapa saja yang memandangnya. Nun jauh disana terdapat pemukiman penduduk, merupakan pemukiman warga desa Cilangkap menambah indahnya pemandangan. 

Untuk menuju lokasi ketiga mata air tersebut sangatlah mudah, jika dari Desa Cilangkap, Kecamatan Buahdua, terlebih dahulu kita harus menelusuri pematang sawah sejauh kurang lebih 500 meter, sedangkan dari Desa Cibubuan, dapat ditempuh dengan menggunakan ojeg atau motor pribadi dengan medan jalan yang relatif lebih mudah. 

Masyarakat setempat dan sebagian pengunjung percaya bahwa ketiga mata air itu dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit apabila dipakai mandi atau diminum, penyakit yang bisa disembuhkan diantaranya adalah penyakit kulit dan rematik. Pengunjung yang datang kebanyakan dari daerah Indramayu dan Cirebon, sebagian lainnya datang dari Bandung. kebanyakan, pengunjung datang pada musim acara kliwonan. 

H. Ali Fathoni, pemilik sawah yang terdapat mata air panas mengatakan kandungan air tidak banyak mengandung belerang hingga bisa langsung diminum. "Itu sudah dari dulu tradisi masyarakat, langsung diminum, apabila dikombinasikan antara mata air panas dengan mata air asam dan diminum dapat menyembuhkan penyakit rematik," kata Fathoni. 

Menurut Fathoni, ketiga mata air tersebut juga mempunyai keunikan lain, yaitu tak pernah berhenti mengalir meski musim kemarau, airnya tetap mengalir sepanjang waktu. "Meski musim kemarau air tetap ada dan banyak, tidak akan berhenti," tandasnya.

Lanjutnya, pernah ada investor dari pihak swasta yang datang, mereka tertarik untuk membuat lokasi  pariwisata di area tersebut. Disamping pengusaha dalam negeri,  ada juga orang asing (Korea) datang bersama aparat dari Pemda, mereka tertari  menjadikan lokasi itu sebagai tempat wisata, karena masih asri dan belum tercemar. "Tapi, belum tahu juga kelanjutannya bagaimana," pungkas Fathoni.

Rangasa, Buah Hutan Yang Semakin Langka

$
0
0
Buah Rangasa
Buah Rangasa
Image By : iucnredlist.org
Rangasa, atau ada juga yang menyebutnya hangasa, admin pribadi pertama kali mencicipi buah ini ketika SMP dulu. Admin menemukan pohon buah ini di hutan ketika ngebolang, mulanya admin merasa aneh melihat bentuk buahnya, karena bentuknya memang tidak biasa dan cukup unik, tapi karena seorang teman mengatakan buah ini bisa dimakan, jadi admin coba nyicip saja.

Ya, admin rasa kebanyakan dari sobat juga kurang familiar dengan buah yang mempunyai nama latin Amomum dealbatum  ini karena buah ini termasuk buah hutan dan tidak dijajakan di pasaran. Kebanyakan hanya anak-anak di pedesaan saja yang tahu buah ini, itupun tidak semuanya, kalau anak desa nya anak rumahan mah (jarang main) dijamin tidak tahu buah ini.

Tanaman rangasa yang juga biasa disebut dengan wresah ini hidup liar dan terpencar-pencar di hutan, adapun yang tumbuh di kebun atau dekat pemukiman penduduk biasanya sengaja ditanam atau tidak sengaja tumbuh setelah biji rangasa dibuang, tapi itupun jarang sekali terjadi. Pohonnya akan mudah tumbuh di daerah yang tanahnya lembab dan kaya akan humus. Untuk perbanyakannya sendiri, rangasa akan cepat tumbuh jika diperbanyak dengan menanam ujung rimpangnya yang berakar, karena rangasa ini memang termasuk anggota suku jahe-jahean (Zingiberaceae).

Bagi anak-anak desa yang senang berpetualang masuk ke dalam hutan, buah ini biasanya diburu karena memang rasanya menyegarkan, dengan rasa manis sedikit asam dan berbau harum tentu akan menambah keseruan ketika berpetualang ke dalam hutan. Kebanyakan hanya akan memakannya di tempat, tapi ada juga yang suka membawanya pulang karena dalam satu tandan buah terdiri dari banyak buah rangasa.

Secara fisik, buahnya berbentuk lonjong dan berbelah bintang seperti buah belimbing, buahnya menempel pada tandan yang muncul di pangkal batang. Pada satu tandan terdapat banyak buah rangasa, jika buahnya dibelah atau dikupas, daging buahnya berbentuk selaput atau gel dengan banyak biji yang berjajar searah. 

Bentuk buahnya yang kecil dan banyak, serta rasanya yang menyegarkan biasanya memancing anak untuk terus menyantapnya, nah inilah yang berbahaya, karena apapun kalau terlalu banyak tentunya tidak baik. Memakan buah ini terlalu banyak akan menyebabkan weureu atau keracunan. Gejala keracunan buah ini biasanya ditandai dengan rasa mual dan pusing, jika sudah parah biasanya akan muntah dan diare. Jika sudah keracunan, segera minum obat pencahar agar racunnya keluar semua, lalu banyak minum untuk mengganti cairan tubuh dan istirahat yang cukup.

Di beberapa tempat, termasuk di tempat admin sendiri di Sumedang, buah ini bisa dikatakan sudah hampir punah, ya, sangat disayangkan buah ini sekarang semakin langka dan sulit ditemui. Hal tersebut diakibatkan oleh maraknya pembukaan hutan baik untuk pemukiman ataupun kepentingan bisnis, sementara di sisi lain, jarang ada penduduk desa yang menyengaja menanam atau membudidayakan tanaman rangasa ini.

Buah Duwet/Jamblang Dan Khasiatnya

$
0
0
Buah Duwet
Image By :
fickr.com
Buah Duwet, bagi admin pribadi buah ini adalah jajanan paling menggoda ketika masa sekolah SD dulu. Ya, di Sumedang buah duwet ini biasanya dijajakan pada anak sekolah dengan dibungkus plastik kecil dan diberi sedikit taburan gula diatasnya. Menikmati rasa masam sepat dengan manisnya taburan gula tentunya sangat digemari anak usia SD ketika waktu istirahat tiba.

Buah yang mempunyai nama latin Syzygium cumini dan  juga biasa disebut buah jamblang ini berasal dari suku jambu-jambuan (Myrtaceae), oleh karena itu buah ini juga biasa disebut dengan jambu keling. Kendati demikian ukuran tidak sebesar jambu, hanya sedikit lebih besar dari buah anggur dengan banyak buah pada satu tandan buahnya.

Layaknya pohon jambu, pohon duwet juga berbentuk pohon berkayu yang kokoh dan bercabang rendah. Di beberapa tempat, pohonnya banyak yang tumbuh liar di hutan-hutan, dan ada pula yang menanamnya sebagai pohon buah di pekarangan rumah. Duwet dipilih sebagai pohon buah di pekarangan karena selain bentuk dan warna buahnya menarik, juga bandel (toleran terhadap kekeringan dan dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah yang tidak subur) dan juga dapat digunakan sebagai naungan

Lebih dari itu, selain bisa dimakan segar ternyata buah duwet juga mempunyai banyak manfaat karena kaya akan antioksidan serta vitamin A dan C. Berikut beberapa khasiat buah duwet untuk pengobatan yang admin sadur dari pondokibu.com

1. Untuk mengatasi diabetes
  • Ambil 15 butir biji duwet, lalu  ditumbuk halus dan direbus dengan air secukupnya
  • Rebusan diminum tiga kali sehari
  • Ulangi setiap hari sampai badan terasa segar, atau
  • Ambil kulit pohon duwet, karena  bisa digunakan pula untuk diabetes
  • Sebanyak 250 gram kulit duwet basah dipotong-potong, lalu direbus dengan 3 gelas air hingga jadi dua gelas
  • Saring airnya lalu diminum sedikit-sedikit sampai habis dalam satu hari
2. Batuk kronis dan asma
  • Cuci buah duwet segar sekitar 15 g sampai bersih. makan tiga kali sehari, atau
  • Sediakan buah jamblang kering sekitar 15g
  • Masukkan ke dalam mangkuk, tambahkan air sampai seluruh buah terendam, lalu tim sampai matang
  • Setelah dingin, minum airnya dan makan buahnya sekaligus. Sebaiknya lakukan tiga kali sehari.
3. Mengobati diare
  • Menggunakan kulit dahan kering sekitar 1 jari, direbus dengan 2 gelas air mendidih sampai menjadi 1 gelas, airnya disaring, dinginkan. habiskan dalam satu hari
4. Mengobati sariawan
  • Rebus kulit kayu atau daun duwet secukupnya
  •  Setelah dingin, gunakan untuk berkumur-kumur. Lakukan 3-4 kali dalam sehari
5. Mengobati ngompol pada anak kecil
  • Ambil tujuh butir biji duwet digiling sampai halus
  • Rebus dengan 2 cangkir air bersama gula jawa, sampai airnya tinggal separuhnya
  • Minum setiap hari 1 cangkir sekitar jam 5 sore sampai sembuh.

Buah Kersen Dan Khasiatnya

$
0
0
buah kersen
Buah Kersen
Image By :
forum.kompas.com
Buah kersen, buah ini biasanya sangat digemari oleh anak kecil, bahkan di desa-desa buah ini biasanya sering jadi buruan mereka, dimana ada pohon kersen pasti ada seorang anak yang sedang memanjat dan memetik buahnya. Banyak anak menggemari buah ini karena selain warnanya menarik, rasanya manis, juga dijamin tidak ada yang memarahi ketika memetiknya, memetik dimana saja tidak akan disebut mencuri karena pohonnya biasanya tumbuh secara liar. Admin pribadi sebagai anak desa dulu sangat menggemari buah ini, kalau sobat sendiri bagaimana ?? pernah mencicipi buah kersen ini ??

Buah kersen yang mempunyai nama latin Muntingia calabura L ini mempunyai pohon berbentuk perdu, tinggi pohonnya bisa sampai 12 meter. Dengan pohon yang cukup tinggi tersebut biasanya membuat anak semakin asyik memetik buahnya, mereka biasanya memetik beramai-ramai sambil berbincang dan bermain di atas pohon. Memang, akan sangat nyaman berdiam di atas pohon kersen ini karena daunnya membentuk naungan yang rindang, cabang-cabang pohonnya pun cenderung tidak membentuk sudut tidak terlalu curam, dan yang paling penting adalah pohonnya terhitung jarang dihinggapi ulat.

Pohon kersen biasanya tumbuh secara liar, tapi ada juga yang sengaja ditanam sebagai pohon peneduh di pinggir jalan. Di perkotaan, pohon kersen biasa dijumpai di tepi trotoar, lahan parkir, tepian sungai, ataupun di lahan atau bangunan yang tidak terpakai. Meski tumbuh liar, ternyata buah kersen mempunyai khasiat dan manfaat yang besar bagi kesehatan kita diantaranya saja adalah mengobati asam urat,  meredakan gejala flu, sebagai antibakteri atau antiseptic dan masih banyak lagi. Berikut beberapa khasiat daun kersen untuk kesehatan yang admin sadur dari tabloidcempaka.com

1. Hipertensi
  • Ambil daun kersen secukupnya, potong agak kecil-kecil
  • Jemur daun kersen tersebut sampai kering, seperti daun teh
  • Setelah daun kering seduh secukupnya dengan air panas untuk satu gelas
  • Tunggu beberapa saat hingga teh kersen terlarut dan air menjadi berwarna coklat
  • Minum dua gelas sehari secara berkelanjutan
2. Antidiabetes
  • Gunakan 50-100 gram daun kersen yang telah dicuci bersih
  • Rebus dalam seliter air hingga mendidih dan tersisa separuhnya
  • Hasil rebusan tersebut diminum dua kali sehari secara berkelanjutan
 3. Asam Urat
  • Makan kurang lebih sembilan butir buah kersen tiga kali sehari secara berkelanjutan
  • hal tersebut dapat mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan oleh penyakit asam urat.
4. Kolesterol
  • Rebus 1-2 gengam daun kersen segar dengan tiga gelas air hingga menjadi satu gelas
  • Minum ramuan tersebut tiga kali sehari secara berkelanjutan

Seni Jentreng Jambret Sebagai Seni Buhun

$
0
0
Pemain Jentreng
Pemain Jentreng
Image By :
 disparbud.jabarprov.go.id
Berbicara tentang seni buhun (tua), tentu kita berbicara tentang seni tradisional yang harus dijaga dan dilestarikan, karena merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun sampai generasi saat ini. Di Sumedang, salah satu seni buhun tersebut adalah seni Jentreng Jambret, yang berasal dari Desa Babakan Asem, Kecamatan Conggeang. Sayang, seni ini bahkan hampir punah di kalangan masyarakat Conggeang sendiri. Bagaimana sejarah dan jalannya pementasan seni Jentreng Jambret ini ? Berikut ulasannya.

Desa Babakan Asem, Kecamatan Conggeang mempunyai seni buhun yang cukup menarik dan unik, seni Jentreng Jambret namanya. Dahulu, seni ini dipentaskan apabila ada acara "Guar Bumi", yaitu sebuah acara ketika penduduk Desa Babakan Asem akan memulai musim menanam padi. Selain itu, Jentreng Jambret juga dipentaskan ketika ada "Hajat Uar", atau sejenis acara Hajat Lembur.

Seiring dengan perkembangan zaman, kini, di Desa Babakan Asem seni Jentreng Jambret juga ditampilkan pada acara-acara khitanan, pernikahan, kenaikan kelas bagi siswa-siswi SD, dan pernah juga dipentaskan pada acara Perkemahan Jamran di Kecamatan Conggeang.

Dalam pementasannya, Seni Jentreng Jambret menampilkan empat personil, yaitu terdiri dari Dalang, Juru Kawih, pemegang alat kecapi dan pemegang alat piul. Seni ini berisi obrolan antara Dalang, pemegang kecapi dan pemegang piul. Obrolan yang ditampilkan berupa pepatah dan guyonan yang disesuaikan dengan alur cerita yang dibawakan.

Ada empat tokoh yang selalu terdapat dalam alur cerita Jentreng Jambret, diantaranya Ki Madlain, tokoh yang selalu bercerita kemana saja, tidak jelas arah obrolannya, tetapi pada akhirnya selalu pas dengan keadaan. Tokoh kedua, Ki Mastanu, orang yang selalu "olo-olo", tokoh ketiga, Ki Eweng, tokoh yang digambarkan selalu menghibur dengan banyolannya dan terakhir, Ki Bajul, tokoh yang digambarkan begajulan dan nakal.

Sekertaris Desa Babakan Asem sekaligus tokoh dalam seni Jentreng Jambret, Eman Irmana mengatakan, seni ini berasal dari seni beluk yang dikembangkan dengan tambahan alat musik, kecapi dan piul. Bahkan, lanjut Eman, dalam acara perkemahan Jamran Kecamatan Conggeang ditambah memakai gendang dan gong. "Saat itu perrtama kalinya ditampilkan di acara perkemahan di Kecamatan Conggeang," katanya pada Admin.

Dikatakan Eman, selama ini lingkung seni yang terus berupaya terus mengembangkan seni Jentreng Jambret yaitu Lingkung Seni Wargi Saluyu, Kampung Naringgul, Desa Babakan Asem, Kecamatan Conggeang. Sebut Eman, pementasan salah satu seni buhun ini sering dilakukan oleh lingkung seni Wargi Saluyu, tetapi baru terbatas di Kecamatan Conggeang. "Belum pernah mentas keluar Kecamatan," ujarnya. Lingkung seni Wargi Saluyu, lanjutnya, sering melakukan pentas apabila ada permintaan. Lingkung seni ini juga terus melakukan latihan rutin supaya seni ini tetap lestari.

Melihat hampir punahnya seni Jentreng Jambret dari Desa Babakan Asem ini, Eman berharap adanya perhatian dari berbagai pihak pada salah satu seni buhun di Sumedang ini, baik dari segi pengembangan maupun regenerasi. "Seni ini harus tetap lestari dan menjadi salah satu ciri khas Desa Babakan Asem pada khususnya dan Kecamatan Conggeang pada umumnya," pungkasnya.

Seni Jentreng Jambret Oleh Lingkung Seni Wargi Saluyu

Kuliner Unik Turaes & Kontroversinya

$
0
0
Berburu Turaes/Tonggeret
Berburu Turaes/Tonggeret
Ada seekor hewan yang menjadi ciri khas saat menjelang musim kemarau dengan bunyinya, di daerah Sunda dinamakan Turaes. Turaes adalah hewan sejenis serangga berasal dari ordo Hemiptera, sob ordo Auchenorrhyncha, di superfamilia Cicadoidea. Serangga ini merupakan serangga musiman, hanya hidup antara bulan februari, maret hingga april. Selain di bulan itu, serangga ini tidak ada.                            

Tahukah sobat, binatang turaes ini mempunyai tempat khusus di masyarakat Conggeang dan Buahdua, dimana sebagian warga sering menjadikannya makanan, baik menjadi lauk pauk teman nasi ataupun dijadikan cemilan. Bahkan di beberapa tempat, pasakan turaes dapat bertahan hingga 2 bulan setelah dimasukkan dalam toples.

Untuk mendapatkan turaes, dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan ngaleugeut/menggunakan sejenis lem di siang hari, atau dengan ngobor pada malam hari. Pemburu turaes dengan cara ngaleugeut biasa berangkat ke hutan atau kebun sekitar jam 6.00 pagi dan pulang pada pukul 14.00 siang hari. Para pemburu tersebut tersebar di beberapa pelosok desa antara lain Narimbang, Jambu dan Cibubuan.                                    

Bah Edi, seorang pemburu turaes dan pedagang  di pasar Conggeang mengatakan, ketika berburu turaes, dirinya selalu berangkat pagi dan  pulang dari hutan siang hari. Leugeut merupakan alat yang cukup efektif untuk mendapatkan turaes.  "Ketika turaes berada di batang pohon atau daun, leugeut (sejenis lem) dipakai menangkap  turaes dengan memakai bambu panjang dengan  ujungnya diberi lidi yang telah memakai leugeut. Hal itu untuk memudahkan menjangkaunya," katanya dijongko miliknya di pasar Conggeang.                                  

Edi menambahkan, turaes akan menempel di ujung lidi tersebut. "Dimana ada turaes, ujung lidi tinggal ditempelkan saja," tambahnya.  Dengan memakai leugeut, Edi bisa mendapatkan sampai 600 ekor turaes perharinya," Tergantung keberadaan turaes sendiri di hutan, banyak atau tidak, kalau lagi banyak bisa mendapatkan 600 ekor, bahkan bisa lebih," ungkapnya.

Ketika musim turaes, Edi merasa senang menangkap turaes, tidak ada rasa lelah ketika harus ke hutan. Disamping itu, lumayan menghasilkan bagi keuangan keluarga. "Tidak ada rasa lelah, seneng saja, meski harus ke hutan. Lumayan menghasilkan juga, dipasar saya menjual di pasar seharga 500 /ekor," ujarnya.                              

Berbeda dengan memakai leugeut yang dilakukan siang hari, ngobor turaes dilakukan pada malam hari. Cukup dengan membawa lampu pijar/ neon/ berwarna putih ke hutan, turaes akan menyambar ke arah lampu karena sifat alaminya. Jadi fungsi lampu, selain untuk penerangan juga sebagai pemancing untuk serangga datang.  Atau jika ingin lebih banyak, bisa menggerakan/ memukul batang pohon hingga turaes berjatuhan ke tanah. Saat berjatuhan ke tanah, barulah turaes diambil.                                      

Keberadaan turaes di malam hari bisa ditandai dengan adanya pohon Suren atau pete, karena makanan turaes berada di kedua jenis pohon itu dengan cara menghisap cairan di pori-pori  batangnya. Hal itu diungkapkan Endang Jaro, warga Dusun Sampora, Desa Cibubuan, Conggeang.                                  

"Keberadaan serangga satu ini tidak akan jauh dari kedua pohon itu," kata Endang saat ditemui di kediamannya. Dalam satu malam, Endang bisa dua kali mengobor turaes, pertama jam 18.30 sampai jam 21.30 dan kedua jam 2.00 sampai jam 4.30.  "Tapi serangga ini lebih mudah ditangkap dini hari menuju ke pagi," tambahnya.                        

Endang bisa mendapatkan rata-rata sampai 750 ekor setiap malamnya. Bahkan untuk musim ini, lanjut Endang, dirinya pernah mendapat sampai 1000 ekor setiap malamnya. "Sekali turun ke lampu, bisa sampai 100 - 125 ekor. Untuk musim ini, Alhamdulillah sering mendapatkan 1000 ekor semalam," katanya. Untuk menghemat biaya, Endang memodifikasi lampu pijar untuk kegiatan mengobornya. Dirinya menggunakan lampu DC dan sumbernya memakai aki kering motor.

Endang menambahkan, turaes dari Conggeang dan Buahdua mempunyai keunggulan dari segi rasa, hal tersebut adalaha karena makanannya berasal dari pohon suren dan pete, sehingga rasanya lebih nikmat dibandingkan turaes dari daerah lain. "Misal turaes dari daerah Tanjungsari dan Maja, di kedua daerah tersebut banyak pohon  singkong hingga rasa turaesnya  akan terasa lebih pait," tutupnya.

*****

Nah, itu tadi liputan seputar kuliner unik turaes di Kecamatan Congggeang dan Buahdua sob, tapi ternyata menjamurnya kuliner ini di musim turaes menimbulkan kontroversi dari segi kehahalalannya. Bagaimana pandangan para ulama tentang hukum memakan turaes ini ? berikut ulasannya.

Turaes/Tonggeret hasil Tangkapan
Turaes/Tonggeret hasil Tangkapan
Turaes memiliki banyak penggemar di Kecamatan Conggeang dan Buahdua, bahkan kini daerah lain juga telah memesan turaes untuk dikonsumsi, seperti sebagian kecil warga Ujungjaya dan Sumedang menjadi salah satu pemesan pasakan turaes. 

Namun di balik makin meluasnya penggemar turaes, masih ada kontroversi yang harus dipecahkan. Turaes merupakan serangga yang berdarah putih, menurut ulama turaes hukumnya tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi.  Turaes adalah hewan sejenis serangga, tidak diperbolehkan dikonsumsi karena berasal dari sesuatu yang menjijikan yaitu ulat tanah, atau dalam bahasa Sunda disebut dengan kuuk

Ustad Tahwi, salah satu ulama di Masjid Agung Conggeang mengatakan sejenis serangga tidak diperbolehkan atau dilarang dalam hukum Islam untuk di konsumsi. Hal itu merupakan kesepakatan para ulama dari Ahlussunah wal jamaah.  "Semut, bangbungsiraru, dan lainnya tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi, termasuk turaes," katanya di kediamannya.  Tahwi menambahkan, dalam Al Qur'an memang hanya dijelaskan garis besarnya/pokoknya saja, tidak diterangkan secara mendetail.                          

"Memang dalam Al Qur'an terdapat hanya pokoknya saja, tidak ada keterangan mendetail tentang serangga. Kalau tentang babi dan arak kan jelas ada dalam al Qur'an," tambahnya. Tahwi mengatakan, hukum Islam menjelaskan sampai masyarakat tahu, tapi pemahaman dan pelaksanaan tergantung individu masing-masing. "Jadi saya tidak bisa melarang-larang tidak boleh dikonsumsi, pelaksanaannya tergantung individu masing-masing," jelasnya.

Senada dengan Tahwi, Ustad Udin Hasanudin, pimpinan Pondok Pesantren Darul Muhajirin dan ketua MWCNU kecamatan Conggeang mengatakan turaes berasal dari metamorfosis ulat tanah yang dalam bahasa Sunda disebut kuuk, dengan wujud berwarna berwarna putih, kemudian menjadi kamomonong hingga menjadi turaes dewasa. Semasa hidupnya, ulat tanah akan diam di tempat menjijikan, seperti bawah kandang domba dan pabrik heleran.                                        

"Segala sesuatu yang berasal dari tempat menjijikan tidak boleh dimakan, haram dimakan," katanya di kediamannya.  Menurut Udin, barang atau hewan yang menjijikan termasuk tiga hal dosa yang diakibatkan oleh perut. "Diantaranya makanan memabukkan, makanan najis dan makanan yang berasal dari barang menjijikan," jelasnya.  

Pada dasarnya semua hewan suci kecuali anjing dan babi, lanjut Udin, tapi ada yang boleh dimakan dan ada yang tidak boleh.  Turaes sebenarnya hewan suci, tapi tidak boleh dimakan karenaa merupakan metamorfosis dari ulat tanah yang semasa hidupnya tinggal di tempat menjijikkan. "Segala sesuatunya kembali ke masalah awal turaes sendiri yang berasal dari ulat tanah," tandasnya.  Wallahu a'lam

*Diterbitkan di Harian Sumedang Ekspres, Mei 2015

Tradisi Ngabuburit di Bulan Ramadhan

$
0
0
Ngabuburit
Suasana ngabuburit hari pertama puasa di pertigaan Cipanteneun
Ngabuburit, atau dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai aktifitas yang dilakukan selagi menunggu waktu buka puasa tiba, merupakan istilah yang lumrah terdengar selama bulan Ramadhan. Ngabuburit yang seolah sudah menjadi tradisi ini bisa dilakukan dengan berbagai kegiatan, baik di dalam maupun di luar ruangan.

Jam belum menunjukan pukul empat sore, tapi kios-kios penjaja makanan sudah dihiasi antrian pembeli yang berburu kuliner untuk berbuka puasa. Jalanan yang biasanya hanya didominasi truk pengangkut pasir pun berubah dipenuhi sepeda motor, dan bahu jalan berubah menjadi tempat parkir dadakan tempat menyimpan kendaraan mereka yang sedang ngabuburit.

Suasana menjelang buka puasa pertama di Desa Licin, Kecamatan Cimalaka tahun ini terbilang lebih semarak dari tahun sebelumnya. Jalanan hampir penuh dengan sepeda motor yang hilir mudik kesana kemari dengan berbagai tujuan. Penjaja makanan untuk berbuka pun semakin menjamur. Ada beberapa titik yang tiba-tiba menjadi pusat keramaian, salah satunya adalah di sepanjang jalan eks pabrik tekstil yang terbentang dari pertigaan Cipanteneun Dusun Panteneun Desa Licin sampai Dusun Lemburgedong Desa Cimalaka.

Salah seorang warga setempat, Aripin, mengatakan titik tersebut bisa dikatakan sebagai pusat keramaian baru di daerah itu. Itu diakibatkan oleh  semakin banyaknya pedagang yang membangun kios/jongkonya di sepanjang benteng eks pabrik tekstil. “Beberapa tahun lalu tidak ada yang berjualan disitu, mungkin sekitar dua tahunan yang lalu baru ada yang mulai berjualan, dan setahun terakhir itu sudah penuh dari ujung ke ujung (oleh yang berjualan),” kata Aripin.

Aripin menambahkan, di bulan Ramadhan ini, keadaan tersebut seolah menjadi alternatif ngabuburit baru bagi warga sekitar. Dengan menjamurnya penjual makanan, maka otomatis mereka yang ngabuburit dengan berburu kuliner untuk berbuka puasa akan terkonsentrasi di tempat itu.
“Disitu mulai dari buah-buahan, mie, jus, sampai cemilan anak pun ada yang jual. Apalagi di bulan Ramadhan ini variasi makanannya pasti bertambah, mulai dari lauk untuk berbuka, sampai candil, kolak, dan makanan untuk takjil lainnya pasti ada disitu,” jelas Aripin.

Selain ngabuburit dengan berburu kuliner untuk berbuka, kebanyakan remaja ngabuburit hanya menghabiskan waktu dengan berkonvoi menggunakan sepeda motor. Hal itu dilakukan sambil menikmati keramaian yang tidak terjadi seperti di hari-hari biasa.

*Diterbitkan di harian Sumedang Ekspres, 18 Juni 2015

Mengenal Bako/Tembakau Parugpug, Tembakau Dengan Kualitas Nomor Satu

$
0
0
Pak Ana, ketua Kelompok Tani Karya Bakti
di ladang tembakau Parugpug
Siapa tidak mengenal tembakau, tanaman yang sangat akrab dengan para penikmat rokok ini menjadi salah satu komoditas bisnis paling diperhitungkan di dunia. Beberapa daerah di Indonesia pun ada yang menjadi penghasil tembakau kualitas dunia seperti Temanggung, Deli, Jember, Lombok, dan Madura. Namun ternyata, Kabupaten Sumedang pun mempunyai tembakau yang tak kalah kualitasnya dengan tembakau dari ke lima tempat tersebut, Tembakau Pargugpug namanya. Apa itu Tembakau Parugpug dan bagaimana kualitasnya ?? berikut ulasannya.

Bako/tembakau Parugpug, begitu nama tembakau ini biasa disebut, adalah tembakau yang berasal dari Dusun Parugpug, Desa Cijambe, Kecamatan Paseh. Tembakau Parugpug sudah diakui berbagai kalangan sebagai tembakau dengan kualitas terbaik di Indonesia, bahkan kualitasnya digadang-gadang bisa bersaing di tingkat internasional. Dengan keunggulannya, tembakau Parugpug telah mendapat Hak Paten atau Sertifikat Indikasi Geografis dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dengan nama Tembakau Mole.

Ketua Kelompok Tani Karya Bakti, yang juga merangkap sebagai DPK APTI (Dewan Pengurus Kecamatan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia), pak Ana mengatakan, Tembakau Mole dibagi menjadi empat jenis bako/tembakau yaitu  merah, kuning, putih, dan hijau. Tembakau Parugrug sendiri termasuk dalam jenis Tembakau Mole merah, dalam kegiatan distribusi dan perdagangannya disebut dengan Tembakau Mole Merah. Mengenai kualitasnya, akan terlihat dari warna, aroma, rasa, dan bobotnya. Setiap ada pameran tembakau nasional, Tembakau Mole Sumedang selalu diakui dan dinobatkan menjadi yang paling unggul.

“Tidak seperti halnya Ubi Cilembu, masyarakat kebanyakan memang belum banyak yang tahu (Tembakau Parugrug sebagai produk unggulan Sumedang), tapi yang tahu dan ahli tembakau pasti tahu lah,” kata pak Ana di kediamannya di Desa Cijambe, Kecamatan Paseh.

Sama halnya seperti Ubi Cilembu yang sama-sama menjadi produk unggulan Sumedang, lanjutnya, kekhasan dari tembakau Parugpug dihasilkan dari kualitas tanah tempat tembakau tersebut ditanam. Jika tembakau Parugpug ditanam di tempat lain, maka kualitas tembakaunya akan menurun. “Jadi seperti Ubi Cilembu dari Desa Cilembu, tembakau ini juga bernama Bako Parugpug karena berasal dari Parugpug,” jelasnya.

Tembakau Parugpug Sumedang
Tembakau Parugpug Sumedang
Pak Ana melanjutkan, tembakau Parugpug dengan kualitas bagus hanya bisa ditanam di dua tempat, selain di Dusun Parugpug Desa Cijambe, kualitas tembakau yang sama hanya bisa dihasilkan dari tembakau yang ditanam di Desa Pasirreungit. “Hanya di dua tempat itu saja kualitasnya bisa maksimal,” ujarnya.

Sekitar dua bulan lagi, tembakau Parugpug akan memasuki masa panen yaitu pada akhir bulan Agustus. Untuk mendapat kualitas tembakau terbaik, lanjut Pak Ana, sebelumnya harus melalui tahapan demi tahapan terlebih dahulu. Karena bukan tidak mungkin kualitas tembakau akan jauh dari harapan jika proses pra penanaman tidak dilakukan dengan benar. Sebelum penanaman tembakau yang dilaksanakan pada tanggal 23 Mei lalu, sebelumnya dilakukan pengolahan tanah, persemaian selama kurang lebih 35 hari, dan pembungbunan (penanaman pada polibag kecil) selama kurang lebih 10 hari di tempat terpisah.

“Bentuk pengolahan tanahnya sendiri biasanya dengan traktor atau cangkul, dengan panjang garitan kurang lebih 10 meter, lebar 1,60 meter, kamalir (parit) 40 cm dan jarak tanam 1,20 x 80 x 70. Sedangkan pemupukan dilakukan dua kali, yaitu pemupukan awal (organik/kimia) pada usia tanam 14 hari dan pemupukan kedua pada usia 20 hari-an. Yang ditanamnya tembakau varietas Nani,” jelas pak Ana panjang lebar.

Namun demikian, menurutnya, meskipun semua teknik penanaman tersebut dilakukan, kualitas tembakau terbaik belum pasti bisa didapatkan, karena tetap tergantung pada pemeliharaan dan ketersedian air untuk menghindarkan tembakau dari kekeringan. Berdasar hal tersebut, kendala cuaca memasuki musim kemarau saat ini menjadi masalah terbesar yang dihadapi. Seringkali terjadi kekurangan air dan tembakau terancam kekeringan.

Karena itu, pak Ana berharap, pihak berwenang bisa membantu mengusahakan sarana pengairan berupa pembangunan sumur artesis guna menghindarkan tembakau Parugpug dari kekeringan. “Karena dari segi pendanaan (bagi tembakau Parugpug), itu di Kec. Paseh ada demplot yang dikelola agrobisnis Sumedang, Bintek yang dikelola propinsi, dan penangkaran benih dari Hutbun kabupaten, kalau terjadi kekeringan dan gagal panen, itu semua akan sia-sia. Jadi mudah-mudahan pihak berwenang bisa membantu,” pungkasnya.

*Diterbitkan di harian Sumedang Ekspres, 20 Juni 2015

Sasakala Ngalaksa

$
0
0
Kegiatan Ngalaksa, Membuat Laksa
Kegiatan Ngalaksa, Membuat Laksa
Ngalaksa adalah salah satu upacara adat yang masih terpelihara sampai saat ini di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, upacara ini erat kaitannya dengan budaya agraris atau pertanian. Masyarakat Rancakalong biasanya menggelar upacara adat Ngalaksa selama satu minggu tanpa henti dengan diiringi seni tradisional tarawangsa ketika musim panen akan tiba.

Secara umum, upacara adat ngalaksa yang dilakukan mempunyai maksud  sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas kesuksesan dan keberhasilan atas panen yang diperoleh masyarakat di Rancakalong. Luapan kegembiraan atas keberhasilan panen yang diperoleh tersebut dibahasakan oleh masyarakat  Rancakalong dengan menggelar berbagai tarian tradisional, juga upacara adat Ngalksa. Ternyata, ada cerita rakyat dibalik asal usul upacara adat ngalaksa ini, berikut adalah Sasakala Ngalaksa, yang menjadi cerita awal adanya budaya upacara adat ngalaksa di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang.

Daun Untuk Pembungkus Laksa
Daun Untuk Pembungkus Laksa
Dikisahkan, dari cerita-cerita orang tua jaman dahulu, dulu suatu masa di daerah Kecamatan Rancakalong pernah kekurangan bahan makanan pokok yaitu padi. Masyarakat sudah mulai bingung sebab padi yang ditanam tidak tumbuh dengan baik dan tidak bisa dipanen, karena takut akan menghadapi kelaparan, waktu itu masyarakat Rancakalong mengadakan rembugan/musyawarah untuk mencari jalan keluar agar tidak ada marabahaya terkait makanan pokok (padi) yang sedang terjadi saat itu.

Ketika itu, musyawarah  menghasilkan jalan keluar, kala itu Mbah Jati yang merupakan sesepuh desa mendapat ilafat harus berangkat ke Mataram (waktu itu, Sumedang sudah jatuh ke tangan Kesultanan Mataram). Seketika itu juga, disertai dengan doa masyarakat Rancakalong, Mbah Jati bersama lima orang tetua kampung berangkat ke Mataram untuk menemui Sultan Agung Mataram.

Sesampainya di Mataram, Mbah Jati menyampaikan segala kejadian di daerah Rancakalong pada Sultan Agung. Mbah Jati meminta nasihat tentang cara-cara menyuburkan kembali tanaman padi baik secara lahir maupun batin. Sultan Agung saat itu mengabulkan permintaan Mbah Jati, ia memberi benih padi yang biasa ditanam oleh rakyat Mataram. tapi selain itu, Sultan Agung juga berpesan pada Mbah jati dan masyarakat Rancakalong, bahwa masyarakat harus mengembangkan adat Mataram di Rancakalong, yaitu harus mengadakan "Ngalaksa" setiap akan panen padi. Berdasar kepercayaan, hal itu akan mendatangkan manfaat yaitu mengembangkan kebudayaan dan secara batin membuat senang Dewi Sri (Dewi padi).

Tarian Rengkong Pada Upacara Adat Ngalaksa
Tarian Rengkong Pada Upacara Adat Ngalaksa
Sepulangnya kembali Mbah Jati ke Rancaklong, dirinya langsung membagikan benih padi pada masyarakat Rancakalong. Mulai hari itu pula masyarakat rancakalong mengembangkan budaya Mataram, setiap akan panen selalu lebih dulu disambut oleh budaya Ngalaksa, biasanya dilaksanakan bulan Juli. Sampai sekarang budaya Ngalaksa dilaksanakan oleh masyarakat Rancakalong secara resmi sebab sudah menjadi adat dan kebiasaannya, hal itu samapi-sampai bisa mengundang perhatian wisatawan dan budayawan.

Arti Ngalaksa sendiri adalah membuat laksa, arti laksa adalah bilangan ribuan, jadi Ngalaksa adalah mebuat ribu (seribu). Harus ada seribu buah-buahan dalam acara itu, tapi karena seiring jaman mencari serbu buah-buahan semakin susah, tidak apa-apa dalam acara tersebut buah-buahannya kurang dari seribu, asalkan ada pisang sewu. Atau dengan kata lain bebas boleh berapa saja, asalkan ada pisang sewu untuk nyewukeun menggenapkan menjadi seribu, (pisang sewu dikenal berbuah kecil tapi banyak dan padat setiap tandan pisangnya).

*cerita digubah dari liesganesti.blogspot.com, Image By disparbud.jabarprov.go.id

Situs Buyut Malandang

$
0
0
Situs Buyut Malandang
Kartaman, Plh Sekdes Desa Buahdua, di Situs Buyut Malandang,
Dusun Malandang, Desa Buahdua, Kecamatan Buahdua
Seperti pernah Admin ceritakan di artikel berjudul Asal Mula Nama Desa Buahdua, dalam artikel itu admin menyebut nama salah seorang tokoh sentral bernama Rd. Agus Salam atau Buyut Malandang dalam pembentukan desa Buahdua tersebut. Berikut ceritanya admin ceritakan kembali secara singkat :

Buyut Malandang atau Rd. Agus Salam adalah putra dari Rd. Kartadibrata Kusumahdinata yang notabene keturunan Susuhunan Sumedang Larang. Ketika Sumedang berada dibawah kekuasaan Mataram, Rd. Agus Salam dijadikan Kepala Cutak (kepala wilayah) daerah Buahdua sekarang oleh Kesultanan Mataram.                      

Rd. Agus Salam, kala itu mendapat tugas untuk menjamu makan kepada serombongan pasukan Mataram. Pasukan Mataram itu ditugaskan menyerang/melakukan peperangan pada tentara VOC di Batavia. Semula jumlah pasukan yang akan datang diperkirakan sebanyak 200 orang, namun Jauh dari perkiraan, tamu datang berjumlah 10 kali lipatnya, yaitu sekitar 2000 orang.

Berkat kecerdikan dan kesaktian Rd. Agus Salam, semua kekurangan perjamuan tentara Mataram dapat dipenuhi, bahkan lebih. Tentara Mataram pun saat akan pulang mendapat bingkisan yang lumayan dari Rd. Agus Salam.

Atas kejadian tersebut, Rd. Agus Salam mendapat julukan Malandang ( juru bagi yang sakti) dari pemerintahan Sumedang saat itu. Nama Malandang sekarang diabadikan menjadi nama sebuah Dusun, yaitu Dusun Malandang. Makam Buyut Malandang di Dusun malandang sendiri sampai sekarang sangat terawat dan sering dijarahi keturunannya dari berbagai pelosok di Sumedang, bahkan luar Sumedang.                                  

Sementara daerah yang dulu dikuasai oleh Buyut Malandang, karena kesuburannya menjadi daerah Panyeuseupan (menete), lebih diartikan ke Buah dada. Layaknya seorang ibu memberikan pertumbuhan dan kesuburan kepada anaknya. Dari nama Buah dada agar terdengar lebih sopan, maka diubah menjadi Buahdua.                        

Konon, di Dusun Malandang, tempat Situs Buyut Malandang berada  memiliki jumlah kepala keluarga yang tetap, yaitu sekitar 40 kepala keluarga. Jika ada warga pindah dari luar daerah dan menetap di Dusun Malandang, dipastikan dari Dusun Malandang sendiri ada yang pindah keluar atau meninggal. Hal itu diungkapkan Engkat K Wirasaputera, salahsatu tokoh masyarakat Desa Buahdua. "Dusun Malandang mempunyai cerita yang cukup unik, jumlah KK nya selalu tetap, bahkan kurang dari 40 KK dan itu sudah berjalan dari dulu," katanya di kediamannya).

Senada dengan Engkat, Kartaman, Plh Sekdes Buahdua membenarkan adanya cerita tentang warga Dusun Malandang yang berjumlah tidak lebih dari 40  Kepala Keluarga.  Kartaman menambahkan, ada mitos lain di Dusun Malandang, yaitu tidak boleh menyebut salam, bagi sejenis bumbu dapur yang berbentuk daun. "Warga sekitar sini menyebut daun salam dengan nama kopo. Itu untuk penghargaan dan penghormatan bagi buyut Malandang (Rd. Agus Salam)," katanya.

Kartaman menjelaskan di Dusun Malandang ada pula sebuah budaya yang dinamakan budaya ngikis, yaitu budaya memperbaiki segala kerusakan pada makam Buyut Malandang dan makam istrinya,dilaksanakan setahun sekali. "Budaya ngikis dilakukan biasanya pada tanggal 25 atau 27 Rewah. Mungkin untuk mempersiapkan ziarah pada hari raya Ied nanti," jelasnya.              

Menurut Kartaman, semua itu dilakukan oleh warga Dusun Malandang beserta warga sekitar. Juru kunci mengadakan hajatan dengan menyediakan segala jenis makanan hasil bertani dari warga. "Warga boleh mengambil kayu sebagai kayu bakar pada hari itu saja, sementara hari yang lain tidak diperbolehkan. Jadi hanya setahun sekali warga boleh mengambil kayu dari Dusun Malandang," tandasnya.  Lanjutnya, selain di hari itu, warga dusun Malandang takut untuk mengambil bambu atau kayu. Mereka hanya mengambil sewaktu adanya budaya ngikis itu.

*Diterbitkan di harian Sumedang Ekspres, Mei 2014

Asal Mula Nama Desa Belendung/Cipelang

$
0
0
Kantor Desa Cipelang
Kantor Desa Cipelang, Kecamatan Ujungjaya
Menurut cerita dari karuhun atau orang tua jaman dulu, dahulu di sebuah desa yang sangat jauh dari keramaian terdapat sebuah pohon belendung yang sangat-sangat besar, menurut cerita, saking besarnya, pohon tersebut bahkan sampai tidak bisa dipeluk atau dikelilingi oleh delapan orang dewasa sekalipun. Dan anehnya, barangsiapa orang (pendatang) baru di desa itu yang coba-coba mendekati pohon tersebut akan langsung sakit ketika dia pulang ke rumah.

Karena keanehannya itulah, lambat laun masyarakat sekitar mulai mengkeramatkan pohon tersebut, sampai akhirnya pohon bersangkutan dijadikan tempat bertapa, semedi, dan sejenisnya. Hingga pada suatu ketika, datanglah seorang tokoh agama yang tidak percaya terhadap takhayul, dan berniat menegakkan ajaran agama di tempat tersebut dengan terlebih dahulu menyingkirkan pohon keramat itu..

Untuk menghindari kesyirikan dan mengesakan Tuhan, pemuka agama itu menebang pohon belendung yang sudah dikeramatkan warga. Warga tidak bisa berbuat apa-apa, pohon yang tumbang pun hilang membusuk ditelan waktu, semua kembali berjalan seperti biasa.

Namun, sesudah pohon ditebang, kabarnya masih suka ada kejadian aneh di tempat tersebut, mungkin hal itu terkait dengan status "keramat" yang pernah dialamtkan pada pohon yang ditebang, atau hanya dihubung-hubungkan saja dan belum tentu kebenarannya. Nama pohon Belendung yang ditebang itu, akhirnya menjadi nama tempat dimana pohon tersebut berada, lembur (desa) Belendung, Kecamatan Ujungjaya.

Lambat laun, nama lembur Belendung pun berubah menjadi Desa Cipelang, Kecamatan Ujungjaya. Nama Cipelang diambil dari cerita bahwa di desa tersebut terdapat sebuah sungai yang airnya sangat jernih dan selalu mengalir walau di musim kemarau,itu terjadi karena airnya langsung berasal dari mata air di kaki gunung Tampomas. Begitulah asal mula nama desa Belendung/Cipelang berdasarkan cerita rakyat yang diceritakan secara turun menurun, semoga bermanfaat.

*cerita digubah dari liesganesti.blogspot.com

Situs Raden Santowan Awiluar/Pangeran Bungsu

$
0
0
Situs Santowan Awiluar/Pangeran Bungsu
Situs Santowan Awiluar/Pangeran Bungsu
dan Juru Kuncinya, Suma Wirakrama
*Meneladani Sifat Putra Bungsu Pangeran Santri Yang Enggan Mononjolkan Diri

Siapa tidak mengenal Prabu Geusan Ulun, raja kharismatik putra dari Pangeran Santri tersebut tercatat sebagai raja Sumedang yang paling fenomenal, dan perjalanan hidupnya dikenang serta ditulis dengan tinta emas tidak hanya di Sumedang, tapi juga di seluruh tanah Sunda berkat kepemimpinannya yang arif dan bijaksana. Namun, tidak demikian dengan Raden Santowan Awiluar, meski memiliki ikatan darah dengan Prabu Geusan Ulun, sedikit sekali yang mengenal dan mengetahui perjalanan hidupnya. Siapa itu Raden Santowan Awiluar ?? berikut ulasannya

Jarang yang mengetahui, bahwa Kecamatan Cisarua mempunyai situs bersejarah berkaitan dengan awal mula Sumedang sebagai kabupaten yang berasal dari sebuah kerajaan, Kerajaan Sumedang Larang. Di Kecamatan ini, terdapat situs bernama Situs Santowan Awiluar/Pangeran Bungsu, berupa makam Raden Santowan Awiluar/Pangeran Bungsu.

Pangeran Bungsu merupakan anak bungsu dari Pangeran Santri bersama Ratu Pucuk Umun (Nyi Mas Dewi Inten Dewata), sekaligus menjadi adik dari Prabu Geusan Ulun. Pangeran Bungsu/Santowan Awiluar merupakan anak terakhir dari enam bersaudara, yaitu Pangeran Geusan Ulun, Kiai Rangga Haji, Kiai Demang Watang Walakung, Santowan Wirakusumah, Santowan Cikeruh, dan Santowan Awiluar.

Situs Raden Santowan Awiluar
Situs Raden Santowan Awiluar
Hal tersebut diungkapkan oleh Juru Kunci Situs Santowan Awiluar, Suma Wirakrama. Menurutnya, tidak heran jika nama Raden Santowan Awiluar kurang familiar di telinga warga Sumedang, sebab sejak zaman Sumedang mengalami masa jaya, Raden Santowan Awiluar dikenal sebagai sosok yang tidak mau jeneng (menampakkan diri, menonjolkan diri, terkenal).

“Beliau ikut mengantarkan Sumedang pada masa jayanya, ikut bertahan, berperang, memberikan sumbangsih pemikiran dalam pemerintahan, dan lainnya, tapi beliau tidak mau jeneng,” ujar Juru Kunci yang juga tergabung dalam PKPB (Paguyuban Kuncen Pancar Buana) ini.

Selain itu, lanjut Suma, sebagai generasi Islam pertama di Sumedang, Raden Santowan Awiluar memilih untuk menegakkan syiar Islam dan berdakwah ke daerah-daerah. Raden Santowan Awiluar lebih memilih berkelana untuk berdakwah daripada terjun dalam dunia politik kerajaan.

“Sampai akhirnya beliau wafat disini, di Dusun Awiluar, Desa Ciuyah, Kecamatan Cisarua. Itu pula mungkin yang menyebabkan nama beliau tidak begitu dikenal dibandingkan nama-nama besar seperti Prabu Geusan Ulun, Patih Jaya Perkosa, dan lainnya,” pungkasnya.

Tradisi Pasca Lebaran, Mupu Leuwi

$
0
0
Tradisi Mupu Leuwi di Desa Citepok
Tradisi Mupu Leuwi di Desa Citepok
Image By : kabar-priangan.com
Kabupaten Sumedang, dikenal sebagai tempat yang mempunyai beragam tradisi yang diwariskan secara turun temurun, tradisi tersebut didasarkan pada kearifan lokal yang mempunyai filosofi dan maksud tertentu, dari menjaga kelestarian alam, hingga menjaga silaturahmi antar warga. Tradisi yang mencakup kedua maksud tersebut salah satunya adalah tradisi Mupu Leuwi, yang biasa dilaksanakan pasca Lebaran di Kecamatan Paseh, tepatnya di Desa Citepok.

Mupu Leuwi, jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah Memanen Sungai (mupu = panen, leuwi = sungai). Memanen sungai yang dimaksud adalah menangkap sebanyak-banyaknya ikan yang ada di aliran sungai. Tradisi ini biasa dilaksanakan di aliran Sungai Cipeles yang memisahkan Kecamatan Paseh (Desa Citepok) dengan Kecamatan Situraja (Desa Sukatali), salah satunya di blok Leuwi Jumin, Dusun Babakan Citepok, Desa Citepok.

Tradisi tahunan ini diadakan oleh pemerintah desa setempat dan biasanya diikuti warga dengan sangat antusias, ratusan warga dari Kecamatan Paseh dan Situraja beramai-ramai ikut memeriahkan tradisi ini. Pada tradisi mengambil ikan secara massal ini, warga tak akan segan-segan turun langsung ke dalam sungai.

Tradisi Mupu Leuwi ini merupakan tradisi tahunan yang biasa dilaksanakan masyarakat untuk mengisi kemeriahan pasca Lebaran. Tak hanya itu, kegiatan ini juga menjadi salah satu jembatan dalam upaya menjalin silaturahmi antar warga sekaligus mempererat hubungan pemerintah dengan warganya, dimana semua warga yang rumahnya berada di sekitar aliran sungai akan mendapat undangan dari pemerintah setempat untuk mengikuti kegiatan tersebut.

Disebut Mupu Leuwi/memanen sungai, karena memang sebelumnya warga selalu menjaga kelestarian ikan di aliran sungai dengan baik, mereka menjaganya bersama-sama dengan berbagai cara, seperti misal memasangi rumpon bambu di sekitar sungai supaya ikan di lokasi itu bisa betah menetap, sampai melakukan penjagaan ketat supaya di lokasi itu tidak ada warga yang berani mengambil ikan. Dengan cara itu, kelestarian ikan di tempat tersebut diharapkan dapat terjaga.

Dengan kata lain, kegiatan mengambil ikan di blok sungai tersebut tidak boleh dilakukan pada hari-hari biasa, sebab ikan-ikan yang ada khusus dipersiapkan untuk memeriahkan tradisi Mupu Leuwi  pasca Lebaran, kegiatan menangkap ikan hanya boleh dilakukan pada hari tersebut. Pada hari itu warga bebas mencari menangkap ikan dengan berbagai cara, mulai dari menggunakan jala sampai ngagogo (menangkap ikan menggunakan tangan).
Viewing all 114 articles
Browse latest View live