Quantcast
Channel: My Sumedang
Viewing all 114 articles
Browse latest View live

Sasakala Desa Marongge

$
0
0
Bapak Ahmad, salah satu pengurus Situs Marongge menunjukkan makam Nyai Gabug,
seorang prajurit perempuan Mataram yang tinggal hingga wafat di Marongge

*Menelusuri Sejarah dan Kisah Dibalik Pelet Marongge

Mendengar kata “Marongge”, sebagian besar orang pasti akan teringat pada sesuatu yang bersifat mistis yaitu  “pelet”, ya, siapa tidak mengenal Pelet Marongge, pelet yang konon membuat nama Marongge dan Sumedang terkenal hingga ke berbagai daerah di Indonesia. Bagi sebagian orang, pelet marongge dipercaya sangat ampuh untuk mewujudkan maksud dan tujuannya. Namun ternyata, kisah awal mula munculnya pelet marongge sendiri tidak ada sangkut pautnya dengan pelet dan hal-hal berbau mistis lainnya. Bagaimana kisahnya ? berikut ulasannya :

Jarang yang mengetahui, bahwa kisah sejarah dibalik munculnya pelet marongge berkaitan dengan ekspansi atau perluasan wilayah Kesultanan Mataram Jogjakarta. Pada masa jayanya, Kesultanan Mataram berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan besar di tanah Jawa, termasuk Sumedang Larang. Pelet marongge sendiri mulai muncul pasca Kesultanan Mataram hendak menaklukkan Kerajaan Panjalu di daerah Ciamis sekarang.

Hal tersebut diungkapkan oleh salah seorang pengurus Situs Marongge, Ahmad, di Dusun Marongge, Desa Marongge, Kecamatan Tomo. Dirinya menuturkan bahwa pelet marongge mulai dikenal setelah wafatnya empat prajurit perempuan dari Mataram di Desa Marongge, empat prajurit perempuan tersebut sebelumnya mengemban misi menaklukan Kerajaan Panjalu.

“Keempat prajurit perempuan tersebut bernama Nyai Gabug, Setayu, Naibah, dan Naidah. Mereka gagal melaksanakan misinya menaklukkan Kerajaan Panjalu, sehingga memilih tidak kembali ke Mataram dan tinggal di sebuah desa yang sekarang bernama Desa Marongge ini. Mereka memilih tidak kembali karena hukuman bagi mereka yang gagal melaksanakan misi adalah hukuman mati,” tutur Ahmad.

Ahmad melanjutkan, keempat prajurit wanita ini konon mempunyai paras yang sangat cantik, sehingga siapapun yang berjumpa dengan mereka akan langsung jatuh hati. Tidak hanya manusia, bahkan kecantikan dan pesonanya bisa menggerakkan benda mati.

“Kalau menurut cerita rakyat yang diceritakan turun menurun, bahkan kukuk (sejenis buah labuh) pun terpesona pada kecantikan Nyai Gabug, sehingga kukuk yang telah dihanyutkan ke hilir sungai pun kembali lagi ke hulu ketika Nyai Gabug memanggilnya,” jelasnya.

Karena kecantikan dan pesonanya itulah, setelah Nyai Gabug beserta ketiga saudaranya meninggal, banyak orang berkunjung ke makamnya untuk meminta keberkahan dalam hal pesona diri, sehingga lambat laun lahirlah pelet marongge.

“Karena pesonanya itulah dikemudian hari lahir pelet marongge. Itu pun mulanya lahir dari kepercayaan orang-orang yang menghendakinya (meminta berkah pesona) dan bukan berasal dari ajaran Nyai Gabug,” tambah Ahmad.

Sekarang ini, makam Nyai gabug beserta ketiga saudaranya sudah termasuk kedalam situs/cagar budaya yang dilindungi Undang-undang. Oleh karena itu, Ahmad berharap ada perhatian dari yang berwenang pada pemeliharaan dan penataan situs.

“Kita kan ngamumule, memelihara peninggalan sejarah, jadi mohon ada perhatian lebih dari pemerintah dalam hal penataan dan pemeliharaan situs disini. Terlebih pengunjung yang datang kesini sangat banyak setiap bulannya, jadi rentan (terjadi kerusakan) pada sarana dan prasarananya juga,” pungkasnya.

*****

*Berikut adalah cerita rakyat tentang awal mula nama Desa Marongge

Sasakala Desa Marongge

Pada jaman dahulu, tersebutlah ada seorang wanita yang sedang mengalami patah hati, Nyai Gabug namanya. Ia patah hati karena seorang lelaki. Untuk mengobati dan melupakan sakit hatinya, Nyai Gabug mengembara bersama tiga orang adiknya, Setayu, Naibah, dan Naidah.

Tidak ada yang tahu pria mana yang telah membuat Nyai Gabug patah hati. Siapapun tidak akan percaya Nyai Gabug harus mengalami sakit hati seperti itu, karena Nyai Gabug mempunyai paras yang sangat cantik yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Siapapun yang berjumpa dengannya, baik lelaki ataupun perempuan, akan langsung menyukainya, dan bagi lelaki tentu ingin memperistrinya.

Diceritakan, Nyai Gabug dan tiga adiknya tiba di suatu bukit di ujung sebuah desa, untuk selanjutnya ia membuka lahan dan mendirikan tempat tinggal disitu. Berita tentang tinggalnya Nyai Gabug di tempat tersebut sangat cepat menyebar dari mulut ke mulut, akhirnya tersebarlah berita bahwa ada empat wanita cantik yang tinggal di sebuah bukit di ujung desa.

Banyak yang penasaran dan mendatangi tempat empat wanita itu berada, dan ternyata benar saja, di tempat itu tinggal empat orang wanita yang kecantikannya tiada tandingannya. Dan tidak jauh dari dugaan, akhirnya banyak lelaki yang jatuh hati dan coba meraih simpati adik-adik Nyai Gabug.

Nyai gabug sendiri mendidik dan mewanti-wanti pada adik-adiknya supaya tidak gampang tergoda oleh rayuan lelaki, utamanya mereka harus berkaca pada apa yang telah dialami oleh dirinya. Ketiga adiknya itu menuruti apa yang telah dinasehatkan kepadanya, mereka memegang teguh amanat sang kakak, dan berjanji tidak akan tergoda oleh lelaki sebelum sang kakak  memberikan restu.

Hingga pada akhirnya, berita tentang kecantikan Nyai Gabug dan ketiga adiknya sampai ke telinga Raja Gubangkala. Berita itu membuatnya penasaran dan ingin mendatanginya sendiri, lain dari biasanya, Raja Gubangkala pergi dari keraton sendiri dan tidak mewakilkan pada siapapun.

Singkat cerita, Raja Gubangkala tiba di bukit yang dimaksud, yaitu tempat tinggal Nyai Gabug dan ketiga adiknya. Dan benar saja, begitu bertemu dan beradu tatap dengan Nyai Gabug, Raja Gubangkala langsung jatuh hati dan ingin memperistrinya, saat itu juga Raja Gubangkala melamar Nyai Gabug untuk dijadikan permaisuri di kerajaannya.

Nyai Gabug tidak serta merta menerima lamaran tersebut, dirinya memberikan syarat pada Raja Gubangkala, yang jika syarat tersebut bisa dipenuhi, baru dirinya mau diperistri oleh Raja Gubangkala. Syarat yang diajukan adalah, Raja Gubangkala harus bisa mengembalikan kukuk (sejenis buah labuh) yang sudah dihanyutkan ke hilir, agar kembali pada tempat asalnya dihanyutkan. Raja Gubangkala kaget mendengar syarat tersebut, itu hal yang mustahil pikirnya.

Namun syarat tersebut coba disanggupinya, karena dirinya pun bukan orang sembarangan dan memiliki kesaktian. Namun apa daya, dengan kesaktiannya pun dirinya tidak bisa memanggil kembali kukuk yang telah dihanyutkan ke hilir, kukuk terus hanyut dan tak kembali.

Sementara, ketika Nyai Gabug mempraktekkan hal yang sama, yaitu memanggil kembali kukuk yang telah dihanyutkan, ia bisa melakukannya, kukuk yang telah hanyut ke hilir berbalik arah ke hulu setelah Nyai Gabug memanggilnya. Itu mengisyaratkan kedigdayaan ilmu Nyai Gabug dan  bukti bahwa kecantikannya memikat siapa saja, bukan hanya manusia, bahkan kukuk yang merupakan benda mati pun tertarik dan takluk pada kecantikan Nyai Gabug.

Melihat itu, Raja Gubangkala menyerah dan mengurungkan niatnya untuk memperistri Nyai Gabug, karena dirinya telah melihat sendiri Nyai Gabug bukan wanita sembarangan dan memiliki kesaktian serta pesona yang luar biasa. Semenjak saat itu pula, tidak ada yang berani mendekati Nyai Gabug beserta tiga adiknya, karena merasa mustahil akan bisa mengabulkan syaratnya, syarat serupa yang pernah diberikan pada Raja Gubangkala.

Selang beberapa lama dari kejadian tersebut, Nyai Gabug sakit parah sampai tidak sadarkan diri. Ketiga adiknya seketika kaget dan merasa khawatir. Tapi tidak berselang lama dari itu, Nyai Setayu menerima ilafat  harus mencari getah buah kilaja muning untuk menyembuhkan Nyai Gabug, untuk selanjutnya getah tersebut harus dioleskan pada bibirnya. Ternyata benar saja, Nyai Gabug sembuh seketika setelah bibirnya diolesi getah kilaja muning. Setelah Nyai Gabug sadar dan membuka matanya, dirinya memerintahkan tiga adiknya untuk segera menggali tanah dan membuat sebuah lubang, ketiga adiknya pun menyanggupinya.

Setelah selesai menggali lubang, Nyai Gabug masuk ke dalam lubang tersebut dan memerintahkan ketiga adiknya untuk segera menutup lubang itu dengan menggunakan rengge (ranting). Setelah lubang tertutupi rengge dengan sempurna, Setayu, Naibah, dan Naidah kaget, karena dari sela-sela ranting ada cahaya berkelebatan seperti merong (melihat/menyorot) pada ketiganya. Semenjak saat itu, tempat itu dinamakan Marongge, yang merupakan gabungan dari kata merong dan rengge.

Berwisata Ke Kampung Toga

$
0
0
Wisata Keluarga di Kampung Toga
Wisata Keluarga di Kampung Toga
Kampung Toga, merupakan salah satu tempat wisata favorit di Sumedang. Pada hari minggu ataupun pada moment-moment liburan tertentu seperti libur Idul Fitri, tempat ini hampir selalu diserbu pengunjung. Tidak heran, karena selain letaknya dekat dengan pusat kota, akses menuju ke tempat wisata ini juga sangat mudah.

Jaraknya yang hanya sekitar 2 km dari pusat kota ke arah selatan, memungkinnya dijangkau bahkan oleh mereka yang hanya melintas di kota Sumedang. Tempatnya tidak begitu jauh dari jalan utama, villa-villa nya pun bahkan sudah bisa dilihat dari jalan raya. Tak hanya itu, jika ada wisatawan yang belum mengetahui Makam Cut Nyak Dien dan akan berwisata ke tempat wisata ini, maka secara otomatis akan langsung mengetahui letak Makam Cut Nyak Dien, karena akses jalan ke Kampung Toga ini satu jalur dengan ke Gunung Puyuh, tempat Cut Nyak Dien dimakamkan.

Sebenarnya, Kampung Toga tidak terdiri dari satu tempat wisata, namun terdiri dari beberapa tempat wisata atau istilahnya adalah kawasan wisata terpadu. Di kawasan wisata terpadu ini, tersedia berbagai macam fasilitas rekreasi, uniknya semuanya ditunjang oleh suasana pedesaan khas bumi Parahyangan yang hijau dan asri, sesuai dengan konsep Kampung Toga sebagai kawasan wisata berwawasan lingkungan. 
Salah satu Kolam Renang Kampung Toga
Salah Satu Kolam Renang Kampung Toga
Beberapa fasilitas wisata yang bisa dinikmati diantaranya adalah kolam renang untuk dewasa dan anak-anak, lesehan, sampai tempat pertemuan (meeting), dan ruang terbuka. Selain itu, di kawasan ini juga dilengkapi fasilitas outbond berupa olah raga dirgantara seperti paralayang dan gantole. Bagi yang ingin menjelajahi lebih jauh, di daerah ini juga kita bisa mengunjungi Curug (air terjun) Sabuk, Curug Haurlawang, Benteng Belanda Pasirlaja, Benteng Belanda Pasirkolecer, dan Makam Cut Nyak Dien seperti yang telah disebutkan tadi.

Lekatnya ciri khas bumi Parahyangan bisa dilihat dalam beberapa hal, pertama tentu pada kontur kawasan tempat wisatanya. Tempat wisata ini dibangun di atas bukit, sehingga dibangun seolah bertrap-trap dan untuk menjelajahi satu tempat dan lainnya kita diharuskan untuk mendaki. Bahkan untuk kolam renang pun tidak terdiri dari satu tingkat, tapi terdiri dari beberapa kolam renang yang dibangun dalam lahan bertrap-trap, mirip sawah terasering yang bertingkat dengan sengkedannya. 

Ciri khas kedua, keadaan alam yang hijau, ya, selain kawasan wisatanya yang memang sudah "hijau", dari atas puncak bukit Toga ini kita bisa melihat hamparan pesawahan, perkebunan dengan panorama khas tatar Sunda, dan dari sini kita bisa melihat pemandangan kota Sumedang, sebuah paduan yang sempurna. 
Villa Kampung Toga Sumedang
Image By : kampungtoga.com
Sedikit naik ke puncak bukit Toga, keluarga yang ingin bersantai bisa mencoba memancing di danau buatan di atas bukit, mancing bersama keluarga di atas perahu tentu akan menjadi pengalaman yang menarik. Danau buatan ini dikelilingi kebun buah-buahan, dan juga sebuah taman yang terdiri dari Tanaman Obat Keluarga, karena sejatinya nama Toga adalah singkatan dari Tanaman Obat Keluarga.

Dan, tentunya semua pemandangan akan lebih berkesan jika bisa menikmatinya dari ketinggian, dengan olah raga dirgantara berupa paralayang tentunya pemandangan yang bisa dilihat akan lebih menarik lagi, tidak usah takut, karena disini juga telah disiapkan trainner yang berlisensi bagi mereka yang ingin belajar paralayang dan Master Tandem untuk mereka yang sekedar ingin menikmati indahnya panorama Kampung Toga dari udara.

Lelah berpetualang atau capek setelah kukucuprakan bermain air ? bisa langsung coba memesan menu ala Parahyangan, ya,  karena disini juga tersedia aneka makanan dan minuman ala bumi Parahyangan yang disajikan di saung lesehan bernuansa alam terbuka. Masih capek ? malas pulang ? dengan dilengkapai fasilitas 20 buah villa berbagai tipe, tentu bisa juga kalau mau langsung menginap disini.

Bermottokan One Stop Adventure, Kampung Toga memang menyajikan beraneka ragam kegiatan wisata yang bisa dinikmati oleh pengunjung, mulai dari wisata di darat, air,sampai dengan udara. Bagi Sobat yang ingin mencoba petualangan wisata di Kampung Toga ini, bisa datang langsung ke jalan Makam Cut Nyak Dien, Gunung Puyuh Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan.
Kegiatan Paralayang di Kampung Toga
Image By : 
m.inilah.com

Menikmati Suasana Berbeda di Rest Area Gendéng

$
0
0
Rest Area Gendeng Sumedang
Salah satu pedagang Sedang Membuat Karedok di Rest Area Gendéng
Rest Area Gendéng, rest area yang sudah ada sejak tahun 1985 ini berdiri di lahan Perhutani yang berada di Dusun Bantargintung, Desa Karyamukti, Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang. Tempat peristirahatan di Jalan Raya Tomo-Sumedang Km 29 dan berada di jalur tengah ini memadukan nuansa hutan dan sungai yang menjadikannya mempunyai ciri khas tersendiri, yang tetap bisa memberikan rasa sejuk dan rileks walau tempatnya berada di tepian jalan nasional.

Sebetulnya, sebagaimana kebanyakan rest area, Gendéng tidak mengedepankan konsep wisata seperti halnya tempat-tempat wisata pada umumnya. Hanya saja, tempatnya yang mengadaptasi dan mengedepankan nuansa alam menjadikannya hampir mirip dengan Wana Wisata. Walau barada di tepi jalan nasional yang ramai oleh kendaraan, tempat ini tetap bisa memberikan rasa sejuk karena diapit oleh hutan jati dan Sungai Cimanuk, salah satu sungai besar yang ada di Jawa Barat. Dengan begitu, pengunjung bisa beristirahat sambil menikmati udara segar dan desiran angin, perpaduan rimbunnya hutan jati dan semilir angin di tepi sungai.

Pengunjung tak perlu takut tersapu aliran Sungai Cimanuk karena tempatnya menjorok ke daratan, dan ada sebagian yang yang berada di atas sungai dengan menggunakan penyangga-penyangga  yang kokoh. Warung-warung berada diantara deretan pohon mahoni yang rapat, ini menjadikan rest area  Gendéng semakin terasa teduh dan segar, dan tentu bisa merecharge para pengendara yang telah penat mengemudikan kendaraannya.

Di sini, pengunjung bisa beristirahat sambil selonjoran di dipan bambu yang tersedia di dalam warung, ya, warung-warung di sini mayoritas dibuat dari bambu dan menggunakan atap dari jerami, dilengkapi dengan dipan-dipan bambu yang dialasi karpet/tikar, hal itu tentu membuat pengunjung merasa semakin dekat dengan alam. Warung-warung yang bederet rapi di sepanjang bantaran sungai juga menjadi ciri khas tersendiri bagi kawasan rest area ini, ada sekitar 30 warung/kios yang cukup luas sehingga pengunjung bisa selonjoran sambil menikmati sajian kulinernya. Bagi mereka yang benar-benar lelah bahan bisa tiduran di sini. 

Kuliner yang disajikan di sini sebenarnya sederhana, setiap warung menyajikan menu yang hampir seragam, tidak jauh dari kelapa muda, lotek, karedok, dan kuliner khas Sunda lainnya, sementara hidangan pelengkapnya adalah ayam bakar, bakso, mie ayam, dan sebagainya yang juga banyak dijajakan di tempat lain. Dari kesemua pilihan kuliner yang ada, pengunjung kebanyakan biasanya memilih lotek/karedok dan kelapa muda/dawegan karena dirasa pas dengan suasana alam yang disajikan.
Rest Area Gendeng Sumedang
Sepi Pada Hari-hari Biasa
Kawasan Gendéng biasanya ramai dikunjungi pada musim-musim tertentu, seperti pada musim liburan ataupun mudik dan arus balik Idul Fitri. Pada musim arus balik, menurut salah seorang pedagang, setiap warungnya bisa memperoleh omset sampai 2 juta rupiah per-harinya, namun sayangnya pengunjung  sepi pada hari-hari biasa. Masih menurut pedagang yang sama, tempat tersebut perlu penataan agar lebih indah dan menarik, dan tentu harus lebih dipromosikan agar semakin dikenal.

Situs Prabu Guru Aji Putih

$
0
0
Situs Prabu Guru Aji Putih
Paramitha Rusady dan Ully Sigar Rusady (kiri, tengah) serta para Budayawan
di Situs Prabu Guru Aji Putih. Image bypikiran-rakyat.com
Mengutip kata-kata Budayawan Ully Sigar Rusady (kakak dari Paramitha Rusady) yang menyebutkan bahwa "Budi yang luhur tidak lupa leluhur," maka sudah sepantasnya putra daerah, selain mempelajari sejarah bangsa dan negaranya, juga mempelajari sejarah daerahnya, yang juga berarti selain mempelajari para pahlawan dan pendiri bangsanya, juga mempelajari para pahlawan dan pendiri daerahnya.

Hal itu sudah tertanam kuat di sebagian besar masyarakat Sumedang sekarang, sebagai contoh bisa dilihat ihwal yang berkaitan dengan pembangunan Waduk Jatigede, yang dipastikan akan merendam situs/makam pendiri daerah, dalam hal ini Kabupaten Sumedang. Masyarakat Sunda dan Sumedang pada umumnya, khususnya masyarakat adat Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja (tempat situs terancam digenang berada), tetap bersikukuh menolak penggenangan/pemindahan situs makam leluhur Sumedang, yaitu Prabu Guru Aji Putih di Kampung Babakan, Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja.

Sebagaimana diketahui, Prabu Guru Aji Putih/Prabu Aji Putih/Haji Purwa Sumedang adalah salah satu keturunan dari Wretikandayun (Kerajaan Galuh) yang mendirikan kerajaan Tembong Agung, yang dikemudian hari Kerajaan Tembong Agung bermetamorfosis menjadi kerajaan Himbar Buana, dan terakhir berubah menjadi Kerajaan Sumedang Larang, untuk selanjutnya Kerajaan Sumedang Larang berubah menjadi Kabupaten Sumedang.

Jika ditarik benang merah sejarah, itu berarti Kerajaan Tembong Agung merupakan cikal bakal Kabupaten Sumedang sekarang, dimana Prabu Guru Aji Putih menjadi tokoh sentralnya. Tidak akan ada Kerajaan Tembong Agung jika tidak ada Prabu Guru Aji Putih, tidak akan ada Kabupaten Sumedang jika tidak ada Prabu Guru Aji Putih. Dengan demikian, situs Prabu Guru Aji Putih menjadi semacam situs monumental bagi Sumedang khususnya, dan Jawa Barat umumnya. Keberadaannya pun sudah dibukukan kedalam bagian dari situs bersejarah tingkat nasional dengan nama “Situs Sunda Agung Aji Putih”.

Karena hal tersebutlah, penggenangan Waduk Jatigede mendapat penolakan keras dari sebagian  masyarakat Sumedang dan masyarakat Sunda yang mengerti sejarah, karena areal situs/makam Prabu Guru Aji Putih berada dalam area genangan waduk. Apabila Waduk Jatigede jadi digenang, makam karuhun orang Sumedang dan cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang itu sudah pasti akan digenang dan menghilang. Begitupun jika situs itu dipindah ke tempat lain, tidak akan memiliki nilai sejarah karena yang namanya situs sudah pasti ia terikat dengan tempatnya berada. Jika itu semua dilakukan, Sumedang akan kehilangan saksi bisu sejarah dan jati dirinya. 

Selain situs Prabu Guru Aji Putih, di tempat yang sama terdapat dua makam bersejarah lainnya, yakni makam Resi Agung dan Ratu Inten Nawang Wulan. Dimana semuanya mempunyai keterkaitan dalam sejarah perkembangan bumi Parahyangan, yang menjadi bagian dari Republik Indonesia sekarang. Prabu Guru Aji Putih juga bergelar Haji Purwa Sumedang, karena dirinya telah memeluk agama Islam dan merupakan orang Sumedang pertama yang menunaikan ibadah haji. Prabu Guru Aji Putih mempunyai empat anak yaitu Batara Kusumah alias Batara Tuntang Buana alias Prabu Tadjimalela, Sakawayana alias Aji Saka, Haris Darma, dan terakhir Jagat Buana alias Langlang Buana. Pada masanya, Batara Tuntang Buana alias Prabu Tadjimalela sang anak sulung meneruskan kekuasan Prabu Guru Aji Putih di Kerajaan Tembong Agung.

Pada prinsipnya, masyarakat, budayawan, termasuk juga pemerhati lingkungan tidak sedikitpun menentang pembangunan dan penggenangan Waduk Jatigede yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Namun, semua meminta agar area situs pendiri Sumedang tidak diganggu dan dirusak (digenangi), itu semata-mata karena kepedulian dan kewajiban untuk memelihara warisan sejarah dan budaya. Bahkan, Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN) yang meliputi 120 keraton, sudah mengirim surat kepada Presiden Jokowi untuk memperhatikan situs-situs yang ada di daerah genangan tersebut.

Ucing Beling, Permainan Latih Fokus & Ketelitian Anak

$
0
0
Ucing Beling
Ucing Beling, Dimana Kira-kira Belingnya Disembunyikan?
Ucing Beling, adalah nama salah satu permainan tradisional di tanah Sunda. Dalam prakteknya, permainan ini biasanya dimainkan oleh dua sampai lima orang anak. Bentuk permainannya hampir sama dengan permainan Ucing Sumput, yang membedakan diantara keduanya adalah yang bersembunyi atau yang dicari. Dalam Ucing Sumput, yang dicari oleh "Ucing" adalah anak yang bersembunyi, sedangkan dalam Ucing Beling, yang dicari adalah pecahan/serpihan kaca yang disembunyikan.

Ya, jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, Ucing berarti kucing, dan Beling berarti pecahan/serpihan kaca, jadi anak yang jadi Ucing (bagian jaga) dalam permainan ini diharuskan mencari serpihan kaca yang telah disembunyikan pemain lainnya. Serpihan kacanya sendiri disembunyikan dalam area tertentu yang telah diberi tanda berbentuk lingkaran atau bidang dengan garis batas tak teratur.

Dalam area tersebut pecahan kaca disembunyikan atau disamarkan sampai tidak terlihat sama sekali, bisa diselipkan diantara rumput, ditutupi pasir, sampai ditindih batu. Adapun alat bantu yang biasa dipergunakan oleh anak yang Ucing dalam mencari pecahan kaca yang disembunyikan adalah rokrak (cabang tanaman yang telah mengering) atau bisa juga menggunakan sebatang lidi, yang terpenting alat bantu tersebut berbentuk memanjang dan berujung lancip untuk memudahkan mencongkel pasir/tempat pecahan kaca disembunyikan.

Yang membedakan permainan Ucing Beling dengan permainan Ucing lainnya (Ucing Sumput, Ucing Bancak, dan lain-lain) adalah tidak ada anak yang benar-benar menjadi Ucing/bagian jaga dalam permainan ini, dimana anak yang bagian jaga tersebut biasanya ditentukan oleh hompimpa atau nyanyian "cang kacang panjang anu panjang ucing,". Dalam permainan ini, masing-masing anak sama-sama membuat sebuah area dan menyembunyikan belingnya, dan mereka saling mencari beling satu sama lain secara bergantian, misal A mencari beling yang disembunyikan B, jika belingnya sudah ketemu giliran B mencari beling yang disembunyikan C, dan C mencari beling yang disembunyikan A (ini jika permainan dilakukan oleh tiga orang anak).

Anak-anak yang bermain permainan ini biasanya adalah anak berumur 5 - 8 tahun. Permainan ini biasa dilakukan untuk mengisi waktu jeda ketika anak-anak sedang melakukan permainan yang terfokus pada gerakan fisik, seperti Ucing Sumput, Sapintrong, dan lainnya. Atau dengan kata lain, permainan ini biasanya dilakukan untuk mengisi waktu "istirahat" ketika anak-anak sedang melakukan permainan yang membuat fisik mereka lelah, karena permainan ini bisa dibilang tidak menguras tenaga.

Namun demikian, bukan berarti permainan ini tidak bermanfaat bagi tumbuh kembang anak, karena sama halnya dengan permainan tradisional lainnya, permainan ini sangat bermanfaat bagi perkembangan anak, permainan ini diantaranya saja melatih fokus, ketelitian, kesabaran, dan juga kebersamaan.

Asal Mula Nama Desa Cibeureum

$
0
0
Kantor Desa Cibeureum Kulon, Jl. Sedar No.10
Kantor Desa Cibeureum Kulon, Jl. Sedar No.10
Desa Cibeureum adalah nama salah satu desa di Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Sekarang ini, Desa Cibeureum sudah dibagi menjadi dua desa yaitu Desa Cibeureum Wetan dan Desa Cibeureum Kulon. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, Ci artinya air, dan Beureum artinya merah, berarti Cibeureum adalah air yang berwarna merah. Konon, ada cerita dibalik penamaan "Cibeureum" untuk nama desa tersebut, berikut asal mula nama Desa Cibeureum ;

Asal Mula Nama Desa Cibeureum

Ketika bangsa Indonesia belum merdeka, penjajah seringkali melancarkan serangan ke berbagai daerah di nusantara, termasuk ke daerah yang sekarang bernama Desa Cibeureum, Kecamatan Cimalaka, Sumedang.

Pada saat itu, tentara Belanda datang dan menyerbu ke daerah Cimalaka dengan membawa persenjataan yang sangat canggih pada masanya. Adapun tentara rakyat atau para pejuang yang ada di tempat itu tidak tinggal diam, mereka tetap berjuang dan melawan, dengan tekad untuk mempertahankan daerah serta mengusir para penjajah. Walaupun pertempuran tidak seimbang, dengan senjata seadanya para pejuang tetap tidak gentar menghadapi penjajah.

Tentara Belanda yang sudah termasyhur memiliki senjata canggih itu terus menyerang, mereka mengusir penduduk dan memporakporandakan tempat itu. Walau para pejuang melawan, tentara Belanda tidak takut karena senjata mereka lebih canggih, yang dengan itu mereka berhasil memukul mundur para pejuang. Para pejuang dan penduduk makin lama makin terdesak, tapi itu tidak menyurutkan niat mereka untuk mempertahankan tempat mereka tinggal, tanah air yang mereka cintai, dan mereka terus melawan.

Walau sudah terdesak, walau sudah banyak yang gugur, para pejuang dan penduduk terus berusaha, dengan segala daya dan upaya mereka terus berusaha untuk meraih kemenangan. Karena mereka yakin, dengan persatuan dan gotong royong mereka akan menjadi kuat dan bisa memenangkan pertempuran.

Dipihak lain, tentara Belanda terus menyerang dan mengatur strategi, karena mereka melihat pejuang dan penduduk pantang menyerah. Salah satu startegi yang mereka terapkan adalah dengan memfokuskan serangan ke daerah sungai, karena di tempat itulah pejuang dan penduduk sering muncul dari persembunyian, untuk memenuhi kebutuhan air. Dengan itu juga mereka akan mudah membuang mayat para pejuang yang kalah dan tewas dalam pertempuran, mayatnya tinggal dihanyutkan saja ke sungai, begitu pikirnya.

Dan pada kenyataannya strategi tentara Belanda itu sangat tepat, di sungai itu pada akhirnya terjadi pertempuran antara penjajah dan bangsa pribumi, yaitu penduduk dan para pejuang. Sungai itu menjadi saksi sejarah gugurnya para pahlawan bangsa. Di sungai itu, banyak mayat yang dihanyutkan, baik itu mayat pribumi ataupun mayat tentara Belanda sendiri.

Saat itu, sontak tersiar kabar air sungai di daerah tersebut berwarna merah menyala, warna merah itu berasal dari darah beratus-ratus warga pribumi dan tentara Belanda yang gugur dalam pertempuran. Sejarah menorehkan kisah yang sangat getir, sampai saat-saat itu, saat-saat mayat bergelimpangan, saat-saat air sungai di daerah tersebut berwarna merah darah, diabadikan menjadi nama tempat dimana peristiwa itu pernah terjadi, hingga tersebutlah nama Cibeureum (air yang memerah) untuk nama sungai dan tempat di sekitar sungai itu berada.

*cerita digubah dari liesganesti.blogspot.com

Ngagogo Lauk, Tradisi Munggahan di Kecamatan Tanjungsari

$
0
0
Pelatih Persib, Djajang Nurjaman Mengikuti Tradisi Ngagogo Lauk
Image By :
persib.co.id
Ngagogo, jika diartikan kedalam bahasa Indonesia kira-kira artinya adalah cara menangkap binatang air tanpa menggunakan alat, atau dengan kata lain menangkap binatang air dengan tangan kosong. Sedangkan lauk adalah bahasa Sunda dari ikan. Dengan demikian, ngagogo lauk merupakan kegiatan menangkap ikan dengan tangan kosong, biasanya dilakukan di kolam atau empang.

Tradisi ngagogo lauk di Sumedang biasanya dilakukan ketika ada acara-acara tertentu, salah satunya ketika munggahan atau awal bulan Ramadhan. Tradisi munggahan ngagogo lauk ini biasa dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. Entah mulai kapan tradisi ini berlangsung, yang jelas sekarang tradisi ini seolah menjadi hiburan tersendiri di tengah kesibukan warga, yang sekaligus juga  menjadi sarana mempererat tali silaturahmi.

Ketika acara ini berlangsung, masyarakat dari berbagai lapisan akan turun ke kolam dan berupaya menangkap ikan sebanyak-banyaknya dengan tangan kosong. Lelaki - perempuan, tua - muda, sampai anak-anak semua ikut meramaikan tradisi ini. Tidak ada sekat - sekat lagi antara sesama, termasuk antara kalangan orang terpandang atau pejabat daerah dengan masyarakat biasa. Sesama tetangga yang jarang bertemu karena kesibukan masing-masing pun bisa bertemu karena acara ini.

Karena tidak semua warga memiliki empang, tentu, acara ini diadakan di tempat warga yang memiliki kolam atau empang, termasuk di empang milik salah satu warga Kecamatan Tanjungsari yang menjadi Manajer Persib Bandung, Umuh Muchtar. Pada munggahan Ramadhan tahun 2015 kemarin Umuh memasukkan tiga kuintal ikan mas ke empang miliknya di Desa Ciluluk untuk digogo warga secara beramai-ramai. Saat itu, bagi warga yang berhasil menangkap ikan paling pertama dan paling besar akan diberi hadiah. 
Tradisi Ngagogo Lauk di Kediaman Umuh Muchtar
Image By :
metrotvnews.com
Tentu saja hal itu akan menjadi penyemangat warga dalam ngagogo lauk, mereka menjadi semakin antusias, mereka tanpa ragu berbasah-basahan dan berkotor-kotor ria menangkap ikan di empang berukuran 100 x 50 meter milik sang empunya hajat, Umuh Muchtar.

Bukan perkara mudah menangkap ikan dengan tangan kosong, fisik ikan yang licin ditambah dengan medan yang berlumpur tentu akan memberikan tantangan tersendiri, belum lagi air yang keruh yang seolah dikocek oleh ratusan orang yang ikut terjun ke dalam empang, tentu akan mempersulit para peserta. Setidaknya, peserta harus menunggu sampai ikan "mabok", baru peserta bisa sedikit lebih mudah untuk menangkapnya.

Hal lain yang menjadi hiburan dalam acara ngagogo lauk di Kecamatan Tanjungsari ini, khususnya acara ngagogo lauk di kediaman Umuh Muchtar, adalah acara tersebut diikuti oleh para punggawa dan pelatih Persib Bandung. Sebagaimana diketahui, Persib Bandung merupakan klub kebanggaan Jawa Barat dimana Kabupaten Sumedang termasuk di dalamnya.

Kehadiran Djajang Nurjaman, Firman Utina, Jajang Sukmara, Toni Sucipto, dan bintang-bintang Persib lainnya tentu menjadikan acara ngagogo lauk di kediaman Umuh Muhtar semakin semarak. Dan, tentu ini membuat warga semakin antusias untuk mengikuti tradisi ngagogo lauk itu. Tapi terlepas dari itu semua, semoga tradisi ngagogo lauk dengan segala nilai-nilai positifnya di Kecamatan Tanjungsari ini bisa tetap terpelihara sampai nanti, lebih jauhnya bisa dikemas dalam acara tahunan yang tidak mustahil bisa dikembangkan menjadi daya tarik wisata Kecamatan Tanjungsari.

Pisang dan Petai, Hasil Pertanian Unggulan Kecamatan Surian

$
0
0
Pisang, Hasil Pertanian Unggulan
Dari Kecamatan Surian
Kecamatan Surian merupakan kecamatan yang berada di ujung di Kabupaten Sumedang, ia berbatasan langsung dengan Kabupaten Subang dan Kabupaten Indramayu. Lokasinya yang berada jauh dari pusat Kabupaten Sumedang di Kota Sumedang, ditambah dengan keadaan infrastruktur jalan yang buruk menjadikan Kecamatan Tanjungmedar ini jarang terekspose. Kendati demikian, sebenarnya kecamatan ini mempunyai potensi pertanian yang sangat bagus, bahkan sudah memiliki hasil pertanian unggulan.

Kecamatan Surian mempunyai hasil pertanian yang cukup beraneka ragam, beberapa diantaranya yang diunggulkan adalah pisang dan petai.  Pisang banyak dipilih petani untuk ditanam karena berbuah sepanjang musim, sedangkan petai dipilih karena masyarakat banyak yang suka. Selain dijual di Sumedang, hasil pertanian tersebut juga dijual ke beberapa daerah di kabupaten lain.

Salah seorang petani dari Dusun Ciri, Desa Surian, Kecamatan Surian, yaitu Wasim mengatakan, mengingat hasil pertanian berupa pisang (kapas, cere, raja, ambon, dan lainnya) mudah rusak, hasil pertanian tersebut hanya dijual ke tempat terdekat yaitu Kabupaten Subang. Sementara untuk petai selain dijual ke Kabupaten Subang juga dijual ke Indramayu, Bandung, dan Sumedang sendiri. 

“Sayangnya, petai panennya satu tahun sekali, jadi kita terhitung jarang  ke Sumedang, padahal Sumedang rumah kami sendiri,” kata Wasim.

Wasim menambahkan, tanah di Kecamatan Surian yang relatif lebih subur dari tempat lainnya di Kabupaten Sumedang menjadikannya kaya akan hasil pertanian. Saking suburnya tanah, petani tidak harus memakai pupuk untuk menanam tanaman jenis apapun. 

“Kecuali untuk petani yang berada, mugkin sekali-sekali pakai pupuk juga,” tambah Wasim.

Menurut Wasim, tanah yang subur di Kecamatan Surian tersebut menjadikannya potensial untuk dikembangkan. Petani yang menggunakan alat-alat konvensional saja bisa mengembangkan berbagai produk pertanian, apalagi jika tanahnya digarap dengan sungguh-sungguh dan menggunakan sistem pertanian modern. Letak Kecamatan Surian yang relatif sulit dijangkau dari Sumedang (kota) karena jarak tempuh yang jauh dan infrastruktur jalan yang buruk menjadikan hal tersebut sulit terwujud.

“Sepertinya sulit (mewujudkan hal itu), sekarang saja kita seringnya jual pisang dan petai ke Subang dan Indramayu karena akses jalannya lebih bagus dan lebih dekat ketimbang ke Sumedang. Petaninya juga bergerak sendiri-sendiri, tidak terorganisir dalam kelompok-kelompok tani,” pungkas Wasim

Melihat Dari Dekat Kerusakan Infrastrukur Jalan dan Kebutuhan Air di Kecamatan Surian

$
0
0
Ilustrasi :  Kerusakan infrastruktur jalan di Kecamatan Surian belum tersesntuh perbaikan seperti
di daerah Sumedang lainnya
*Kerusakan jalan menahun memperlambat perkembangan ekonomi dan kesehatan warga

Kerusakan infrastruktur jalan bukan merupakan hal aneh di Kabupaten Sumedang, banyak faktor yang mempengaruhinya, salah satunya adalah tonase kendaraan yang melebihi batas. Namun demikian, kerusakan jalan tersebut bukan berarti tanpa perbaikan, perbaikan senantiasa dilakukan di beberapa titik yang dianggap penting. Sayangnya, perbaikan yang dilakukan dirasa tidak merata, bahkan ada daerah yang infrasrtuktur jalannya belum diperbaiki bertahun-tahun lamanya, seperti di Kecamatan Surian. Kecamatan Surian adalah kecamatan yang berada di ujung Sumedang dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Subang dan Kabupaten Indramayu. Bagaimana keadaan jalan di Kecamatan Surian sekarang dan bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan warga? berikut ulasannya ;

Warga Kecamatan Surian (bahkan) sudah lelah untuk mengeluh, itulah kalimat pertama yang terlontar dari mulut Sekretaris Kecamatan Surian, H. Ade ketika admin bertanya tentang kerusakan infrastruktur jalan di Kecamatan Surian. Bagaimana tidak, sudah bertahun-tahun lamanya infrastruktur jalan di tempat tersebut tidak dibangun/diperbaiki. Ade memperkirakan, sudah dua puluh tahun lamanya masyarakat Kecamatan Surian mendambakan jalan yang leucir, yang bagus, dan mempermudah aktifitas warga.

Ade mengatakan, kerusakan jalan di Kecamatan Surian sangat berpengaruh di berbagai lini, yang paling mencolok adalah di bidang ekonomi dan kesehatan. Dengan kondisi jalan yang rusak berat, perputaran uang tidak berjalan dengan baik di Kecamatan Surian, banyaknya, aliran uang dari Surian keluar ke Kabupaten lain yaitu ke Subang dan Indramayu.

“Untuk belanja keperluan sehari-hari ke kota (Sumedang) itu jaraknya empat puluh tujuh kilometer dengan keadaan jalan yang hancur lebur,  sedangkan ke Subang itu jaraknya hanya dua belas kilometer saja, dengan keadaan jalan yang relatif lebih bagus. Jelas warga Surian lebih memilih belanja ke Subang,” kata Ade.

Masih kata Ade, karena itu pula investor yang hendak menanamkan modalnya di Kecamatan Surian banyak yang mundur. Dengan itu, warga Kecamatan Surian semakin sulit memperoleh kemudahan dalam berbagai hal. 

“Contohlah minimarket, kalau ada (di Surian) kan cukup membantu warga dalam memenuhii kebutuhannya sehari-hari. Sebetulnya banyak yang berminat membangunnya di sini, tapi mengurungkan niatnya ketika melihat kondisi jalan disini  99% rusak berat,” ujar Ade.

Menurutnya, hal yang sama juga terjadi di bidang kesehatan, warga yang sakit cukup parah dan memerlukan penanganan lebih, banyak yang memilih berobat ke Subang daripada ke Sumedang kota.

“Padahal penanganan kesehatan di (RSUD) Sumedang itu kan katanya relatif lebih bagus daripada di tempat lain, tapi warga Surian tidak bisa terfasilitasi untuk itu karena keadaan jalan yang rusak berat. Akan sangat memprihatinkan kalau (di Surian) sampai ada yang sakit malam-malam dan memerlukan perawatan lebih,” jelas Ade.

Untuk itu, Ade berharap pihak terkait lebih memperhatikan keadaan jalan di Kecamatan Surian. Karena warga Kecamatan Surian juga masih warga Kabupaten Sumedang.

“Bagi warga yang awam dan yang tidak sabar, banyak yang berkata bagaimana kalau kita pindah saja ke kabupaten sebelah, ini sinyal kekecewaan. Jadi, tolong lah diperbaiki secara merata (infrastruktur jalannya), kasihan warga,” pungkas Ade.

**********

Selain persoalan kerusakan infrastruktur jalan, beberapa desa di Kecamatan Surian juga seringkali mengalami kesulitan air bersih, itu diperparah dengan rusaknya akses jalan, dengan rusaknya akses jalan, warga semakin kesulitan untuk mencari air layak konsumsi, seperti yang dialami oleh warga Dusun Ciri, Desa Surian. Berikut petikan perbincangan admin dengan Kepala Dusun Ciri, Ara Kuswara ;

Warga Dusun Ciri, Desa Surian, Kecamatan Surian sampai saat ini masih kesulitan memperoleh air bersih. Sumber-sumber mata air di daerah tersebut berada jauh lebih rendah dari ketinggian desa. Lokasi desa yang berada di ketinggian tersebut menjadikannya sulit memperoleh suplai air bersih.

Kepala Dusun Ciri, Desa Surian, Ara Kuswara mengatakan kesulitan air bersih  di Desa Surian sudah berlangsung cukup lama. Sebagai sebuah kebutuhan pokok, kesulitan air bersih di Desa Surian dirasa cukup memprihatinkan. 

“Kadang untuk mengeluh pun kita sudah merasa lelah, sudah terlalu lama (mengharap ketersediaan air bersih),” kata Ara ketika berbincang dengan admin.

Ara menambahkan, dulu memang pernah dilakukan pemasangan paralon dan lain-lain (pipanisasi). Total jarak yang sudah dilalui pipanisasi tersebut sejauh tiga puluh meter dari gunung di Kecamatan Tanjungmedar.

“Tapi sampai sekarang pengerjaannya mandek, tidak pernah selesai,” tambah Ara.

Ara menjelaskan, mandek yang dimaksud olehnya adalah pipa yang telah  terpasang mudah rusak karena keadaan alam, sehingga harus terus diperbaharui, dan itu tidak dilakukan. Ketika pipa sudah terpasang dengan baik pun, warga tetap kesulitan memperoleh suplai air.

“Air yang keluar sedikit sekali, mungkin karena jarak tempuh air yang terlalu jauh dan terjadi kebocoran paralon disana-sini,” jelas Ara.

Ara melanjutkan, kebocoran sampai terputusnya jalur paralon memang kerap terjadi. Kerusakan akibat patah/terputusnya paralon tersebut biasanya diperbaiki dengan cara disambung kembali, tambal sulam, tapi itu pun tidak tahan lama.

“Tidak berselang lama biasanya rusak lagi karena tergerus longsor, jalur pipa memang rawan longsor,” ujar Ara.

Karena itu, untuk keperluan sehari-hari,  warga terpaksa mengambil air dari sumber mata air kecil yang berada jauh di bawah desa. Warga mengambil air dengan menggunakan ember secara bergantian.

“Itu jalan kaki turun jauh ke bawah, lalu naik lagi, tidak bisa menggunakan sepeda motor karena medan jalannya sulit. Rasanya seperti di tahun 80’an saja,” keluhnya.

Untuk itu, Ara berharap pihak berwenang bisa segera mengatasi permasalahan tersebut. Karena ketersediaan air bersih akan berpengaruh langsung pada kesejahteraan dan kualitas kesehatan penduduk desa.

“Mudah-mudahan ada perhatian  (dari pemerintah) sehingga masalah ini bisa cepat diatasi,” pungkas Ara.

Seni Olahraga Tradisional Panahan Kasumedangan

$
0
0
Panahan Kasumedangan
Olahraga Tradisional Panahan Kasumedangan
Image By :
 gaedegambarist.blogspot.com
Panahan Kasumedangan, merupakan salah satu peninggalan dari zaman kerajaan berupa seni olah raga tradisional. Sebagaimana diketahui, di daerah yang menjadi Kabupaten Sumedang sekarang dulunya berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sumedang Larang, dimana pada masa jayanya Sumedang Larang pernah menguasai hampir seluruh pulau jawa bagian barat, kecuali daerah Batavia (Jakarta), Banten, dan Cirebon.

Seni olahraga tradisional Panahan Kasumedangan ini merupakan peninggalan dari zaman tersebut. Pada masa awal kemunculannya, ia berawal dari kebiasaan masyarakat menggunakan panah untuk berburu, dan di kemudian hari berkembang menjadi senjata untuk berperang. Pada akhirnya, sekarang setelah masa kerajaan berlalu, seni memanah ini dikembangkan menjadi olah raga tradisional agar tetap terjaga kelestariannya. Daerah yang sampai saat ini masih melestarikan seni olah raga tradisional ini adalah Kampung Cimanglit, Desa Pasir Biru, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang.

*Pembuatan Panah

Tidak mengherankan jika di Kampung Cimanglit seni olahraga tradisional ini masih tetap lestari, karena di tempat tersebut keberadaan pohon bambu masih tetap terjaga. Rimbunnya pepohonan bambu yang ada di desa dimanfaatkan warga setempat sebagai bahan baku untuk membuat panah dan busurnya.

Namun memang, tidak sembarang bambu bisa dipakai untuk membuat anak panah, hal tersebut dimaksudkan agar anak panah yang dihasilkan bagus dan bermutu tinggi. Dari 13 jenis bambu yang tumbuh di wilayah Rancakalong, khususnya di Desa Cimanglit, hanya bambu bitung saja yang bisa menghasilkan kualitas panah yang baik, sayangnya, bambu jenis itu paling sulit dicari.

Bambu bitung bisa menghasilkan panah dengan kualitas baik karena bambu ini mempunyai batang yang tebal, kuat dan keras. Bambu yang akan dipakai pun tidak sembarangan, bambu yang dipilih untuk membuat panah biasanya adalah yang tumbuhnya menghadap ke timur. Alasannya, bambu tersebut (yang menghadap ke timur) mendapat sinar matahari lebih banyak ketimbang bambu yang menghadap ke barat atau ke arah lain.

Tanggal 1 Muharram, merupakan saat yang dianggap paling tepat untuk mulai menanam maupun menebang pohon bambu. Hal tersebut berdasar pada sikap hidup masyarakat di tempat tersebut yang religius dan menghormati leluhur. Bahkan sebelum menebang bambu, mereka menyalakan rokok terlebih dahulu, lalu meletakkannya di bawah pohon sebagai persembahan bagi para leluhur.

Dalam pembuatan anak panah, bambu yang telah ditebang akan dipotong sesuai kebutuhan, yang terpenting adalah, panjang anak panah harus disesuaikan dengan rata-rata panjang tangan pemain. Tentu hal ini dimaksudkan agar pemain tidak merasa kesulitan menarik anak panah pada busurnya ketika permainan berlangsung. Setelah itu, bambu kemudian direrab (sekedar dipanaskan di atas bara api) agar kering, baru setelah benar-benar kering bambu dibentuk menjadi anak panah.

Setelah dibentuk menjadi anak panah, potongan bambu yang telah mempunyai bentuk tersebut lalu diserut agar permukaannya semakin rapi, lalu diberi warna dengan cat agar tampak lebih indah. Di ujung anak panah akan ditempel lempengan besi yang telah ditempa, besi yang ditempa akan berbentuk pipih. Besi yang telah berbentuk pipih tersebut kemudian dibengkokan, melingkari anak panah dengan ujung membentuk sudut yang tajam.

Setelah anak panah yang berujung tajam terbentuk, bagian selanjutnya adalah menempel bulu. Bulu merupakan bagian penting dari sebuah anak panah, karena dengan adanya bulu tersebut anak panah bisa melesat lurus ke depan. Bulu yang dipergunakan berjumlah 3 helai, satu helai harus menghadap ke atas, sedangkan dua helai lainnya menghadap ke samping, ini dimaksudkan agar anak panah dapat melesat lurus kedepan dan tidak terpengaruh hembusan angin. Dulu, bulu yang biasa digunakan adalah bulu elang, namun seiring waktu bulu elang pun semakin sulit didapat, maka digantilah bulu elang ini dengan bulu ayam atau angsa.

Alat panahan selanjutnya yang harus dibuat adalah busur, busur panah dibuat dari dua bilah bambu yang disambung, dengan ruas bambu masing-masing berada di tengah bambu yang akan disambung. Dengan cara menyambung seperti ini busur akan menjadi lebih kuat.

Pengerjaan alat yang terakhir adalah memasang tali pada busur. Sekalipun olahraga panahan ini dimainkan secara tradisional, tali yang digunakan merupakan benang sutra impor dari Korea. Alasannya, tali tersebut sangat kuat dan tidak mudah putus, sehingga aman dan nyaman ketika digunakan untuk menarik anak panah pada busurnya.

*Jalannya Pertandingan

Pasanggiri atau pertandingan panahan Kasumedangan, merupakan saat yang dinanti-nanti warga. Seluruh warga, dari anak-anak sampai dewasa tanpa terkecuali, akan berbondong-bondong mendatangi lapangan tempat dilangsungkannya pertandingan. Sementara itu, para peserta akan mengenakan pakaian serba hitam, lengkap dengan ikat kepala (iket) dalam berbagai bentuk. Masing-masing dari mereka membawa anak panah dan busur andalan.

Menjelang dimulainya pertandingan, masing-masing peserta mengambil nomor urut undian. Nomor tersebut ditempelkan ke satu anak panah yang kemudian ditancapkan pada sebuah gedebok pisang. Cara ini memudahkan juri untuk melihat anak panah siapa yang mengenai sasaran, sebab satu target akan diincar oleh 50-an pemanah.

Kegiatan pertandingan sendiri diawali dengan musik dan tarian, dimana seluruh peserta akan ikut ngibing atau menari, diiringi alunan angklung jengklung. Menyusul musik dan tari, acara selanjutnya adalah seremonial, dimana dua pembina warga, yang juga disebut dengan warga Sumedang Larang menyerahkan panah pusaka peninggalan kerajaan Sumedang Larang kepada sesepuh Sumedang Larang, yang biasa disapa Pupuhu.

Panah pusaka ini disebut Panah Kabuyutan, dan menjadi simbol kehadiran leluhur pada pertandingan tersebut. Kedua panah pusaka ditancapkan di atas hiasan dari janur. Acara kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Pupuhu, yang mengemukakan bahwa inti dari panahan adalah manah, manah dalam bahasa Sunda berarti hati. Ini dapat diartikan, bahwa memanah harus dilakukan dengan hati bersih.

Setelah itu, barulah selubung yang menutupi target atau sasaran akan dibuka. Sasaran tersebut berupa patung Dasamuka, patung ini berdiri dengan jarak 50 meter dari tempat para pemanah duduk. Makna di balik Dasamuka ini, adalah anggapan bahwa pada zaman sekarang banyak orang yang berwajah dan berkepribadian banyak, lain mulut lain di hati, lain sikap lain ucapan. Hal ini harus ditumpas, dihabisi, yang dianalogikan dengan anak panah yang menancap di sasaran tersebut. Menancapnya anak panah itu sebagai simbol  menyingkirkan sifat-sifat buruk manusia.

Seperti dalam kegiatan panahan sebagai olah raga, sasaran tersebut juga memiliki nilai, tergantung dari tingkat kesulitan untuk membidiknya. Kepala memiliki nilai tertinggi, yaitu sembilan, diikuti berturut-turut oleh dada dengan nilai tujuh, perut dengan nilai lima, dan bagian tubuh lainnya dinilai satu. Pemanah yang mengumpulkan nilai terbanyak, dialah yang muncul sebagai juara.

Untuk satu kali pertandingan, para pemanah harus menyiapkan 1 hingga 15 anak panah. Satu anak panah ditancapkan di gedebok pisang, untuk keperluan juri, sementara anak panah yang lain dipakai untuk bertanding. Sistem permainan diadakan dalam beberapa kali rambahan/putaran, misal lima rambahan/putaran, dimana sekali putar, para pemain membidikkan 12 anak panah sekaligus. Lamanya para pemain mengumpulkan kembali anak panah, lebih lama daripada waktu yang dibutuhkan untuk membidikkan ke-12 anak panah mereka. Satu rambahan bisa memakan waktu selama 10 menit.

Begitu lima rambahan selesai dimainkan, seperti pada awal permainan, para pemanah warga Sumedang Larang kembali ngibing atau menari. Acara hiburan ini diselingi dengan adu silat yang dimainkan sendiri oleh Pupuhu. Setelah itu, kedua panah pusaka yang sebelumnya ditancapkan ke hiasan janur, dikembalikan kepada kedua pembina Sumedang Larang. Sementara itu, para juri telah siap dengan hasil penghitungan nilai para peserta.

Olah raga tradisional sekaligus kesenian ini dalam prakteknya membutuhkan ketenangan. Sekali pemain terganggu konsentrasinya, maka arah anak panahnya akan melenceng dan tidak mengenai sasaran. Ini terkait erat dengan makna di balik panahan itu sendiri, yaitu manah atau hati. Ibarat menjalani kehidupan, tanpa hati yang bersih, mustahil seorang pemanah mampu mencapai tujuannya dengan sempurna.

Terselip pepatah dari Pangeran Sugih dalam olahraga tradisional ini yaitu "manah, maneh, matih,  matuh", yang intinya berlandaskan pada perbaikan hati dan hubungan antar sesama manusia, leuleus hate jeung nyaahan, deudeuhan (hati yang lembut dan penuh kasih sayang), hati yang merdeka, dan tentram penuh ketenangan.

*digubah dari indosiar.com

Kolontong, Renyah Manis Khas Jawa Barat

$
0
0
Kue Kolontong
Kue Kolontong
Kue kolontong, merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bandung dan telah menyebar ke berbagai penjuru daerah di Jawa Barat seperti Tasikmalaya, Garut, Subang, Majalengka, dan lain-lain termasuk Sumedang. Atau dengan kata lain, Kolontong telah meyebar secara merata di Jawa Barat dan telah menjadi makanan tradisional khas Jawa Barat.

Kolontong bila dikategorikan termasuk kedalam makanan camilan atau snack yang tidak membuat kenyang. Camilan ini berupa kue kering yang kebanyakan berbentuk panjang lonjong dengan rongga-rongga udara di dalamnya, sehingga akan terasa renyah ketika kita mulai menggigit dan mengunyahnya. Kolontong mempunyai rasa yang manis, meski begitu, orang Sunda sendiri jarang menyebut makanan ini sebagai "kue".

Sebagai makanan tradisional, kolontong hampir selalu ada pada acara-acara atau hari-hari besar seperti Idul Fitri, hajatan pernikahan, hajatan pengantin sunat, dan lainnya. Namun, terhitung sulit menjumpai camilan tradisional ini pada hari-hari biasa. Tapi walaupun terbilang langka dan sulit ditemukan pada hari-hari biasa, Kolontong ini masih tetap terjangkau harganya.

Berikut adalah resep membuat kue Kolontong camilan khas Jawa Barat (resepmasakindonesia.com) ;

1. Pertama-tama, sediakan bahan dasar yaitu ;
  • Beras ketan,
  • Gula aren,
  • Gula pasir.
2. Cara membuat ;
  • Bersihkan beras ketan, beras ketan yang sudah dibersihkan lalu direndam selama 2 malam,
  • Setelah direndam, kemudian beras ketan dimasak selama kurang lebih 10 menit lalu ditumbuk hingga menjadi adonan halus,
  • Setelah itu, tambahkan gula aren dan gula pasir. Campur, dan aduk adonan hingga merata,
  • Setelah bahan tercampur merata dan kalis, kemudian dibentuk pipih menggunakan alat sederhana,
  • Bahan yang sudah siap dicetak,  lalu dijemur selama satu hari,
  • Ketika bahan sudah kering, gunting bahan menjadi persegi panjang,
  • Lalu, disangrai hingga mengembang dengan menggunakan pasir yang berasal dari sungai. Pada tahap ini Kolontong akan mengembang berbentuk lonjong persegi panjang,
  • Tahap terakhir, Kolontong yang sudah jadi dicampur dengan gula aren/gula merah yang sudah dicairkan, lalu dijemur kembali hingga kering.

Asal Mula Nama Jalan Pagar Betis

$
0
0
Pemandangan di Desa Cipancar, Jalan Pagar Betis
Jalan Pagar Betis adalah nama salah satu jalan yang berada di sekitaran Sumedang kota, ia berada hanya beberapa meter saja dari alun-alun kota Sumedang. Jalan ini membentang dari Kelurahan Cipameungpeuk sampai ke batas akhir Desa Citengah, Kecamatan Sumedang Selatan. Sobat pasti ada yang sedikit heran dengan nama jalan ini, karena nama jalannya sedikit unik yaitu "Pagar Betis" yang bisa diartikan sebagai penjagaan yang ketat, yang juga menyangkut kewaspadaan dan perlawanan. 

Ternyata, ada sejarah dibalik penamaan jalan tersebut menjadi Jalan Pagar Betis, sejarahnya sendiri tidak jauh dari arti pagar betis itu sendiri. Berikut asal mula nama Jalan Pagar Betis ;

Asal Mula Jalan Pagar Betis

Jaman dulu, jaman pemberontakan DI (Darul Islam), daerah Cipameungpeuk dan sekitarnya pernah diserbu oleh kelompok pemberontak tersebut. DI sendiri dikenal sebagai kelompok atau gerombolan yang sering merampok atau menjarah harta benda milik warga. Gerombolan ini awalnya berasal dari daerah Garut.

Saat itu, masyarakat yang daerahnya diserbu dan dijajah oleh gerombolan DI hidupnya sangat sengsara, termasuk warga di daerah Cipameungpeuk dan sekitarnya yang juga diserbu gerombolan DI. Apa saja yang mereka punya akan dirampas oleh gerombolan tersebut, mulai dari beras, pakaian, hingga hewan peliharaan dirampas habis sampai warga tidak mempunyai apa-apa. Kelompok ini terkenal bengis, mereka tak segan menyiksa dan membakar rumah siapapun yang berani melawan mereka.

Mereka akan semakin beringas jika mendapati seseorang yang memakai atau mempunyai baju berwarna hijau atau loreng, orang itu akan langsung digorok, dihabisi. Ini bukan dongeng, ini merupakan riwayat sejarah bangsa Indonesia yang sangat getir. Memang memalukan gerombolan ini berlindung dibalik nama Islam, karena Islam sama sekali tidak mengajarkan perilaku yang kejam seperti yang dipraktekkan DI, sebagai muslim tentu kita tidak akan ridho nama Islam tercoreng karena kebiadaban DI.

Semakin lama, warga semakin sengsara dan marah terhadap perilaku gerombolan itu. Lalu, pada saat-saat yang pas, ketika kelompok DI lengah, warga berinisiatif mengadakan gerakan pagar betis sebagai perlawanan dan juga pertahanan terhadap gerombolan itu. Gerakan pagar betis ini mempunyai anggota yang sangat banyak, mencapai ribuan, yang terdiri dari lelaki baik muda maupun tua. Sementara perempuan, tidak diizinkan mengkuti gerakan tersebut.

DI yang telah bercokol di daerah itu kemudian dihadang oleh benteng perlawanan yang dinamakan pagar betis tersebut. Semenjak saat itu, gerombolan DI dilawan oleh ribuan warga dengan gerakan pagar betisnya. Cara perlawanan itu ternyata sangat efektif, taktik yang sangat jitu, DI akhirnya menyerah dan mengaku kalah, dan mereka pun akhirnya pulang ketempat asalnya di Garut.

Sekarang, nama gerakan pagar betis diabadikan dalam nama jalan, Jalan Pagar Betis, untuk mengingat perjuangan para pejuang jaman dulu yang sangat berjasa dalam melawan dan mengusir gerombolan

*cerita digubah dari liesganesti.blogspot.com

Cerita Buhaya Putih Dan Keuyeup Bodas

$
0
0
Admin WS di Daerah Bakal Genangan Waduk Jatigede, Tahun 2009
Admin WS di Daerah Bakal Genangan Waduk Jatigede, Tahun 2009
Foto di atas merupakan foto admin ketika berkunjung ke daerah bakal genangan waduk Jatigede tahun 2009, tentu, foto di atas diambil jauh sebelum Waduk Jatigede ditenggelamkan, waduknya sendiri baru mulai ditenggelamkan awal Agustus 2015 lalu. Bisa dilihat, bukit-bukit yang nampak pada foto di atas akan hilang ditenggelamkan air dam, dan bahkan mungkin sekarang telah hilang tenggelam dalam luapan air Sungai Cimanuk.

Semenjak Waduk Jatigede akan dan (sekarang) telah digenangi, cerita turun-temurun yang berkaitan dengan bendungan inipun kembali diperdengarkan, seperti cerita berikut ini dari Ki Wangsa (54), warga Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kab. Sumedang, Jawa Barat. Cerita ini dipublikasi oleh Balai Pelestari Nilai Budaya Bandung dalam buku “Inventarisasi Sejarah Lokal, Mitos & Cerita Rakyat Jatigedé di Kanupaten Sumedang.” (Agus Heryana dkk.). Berikut cerita tentang Buhaya Putih dan Keuyeup Bodas yang sekarang sering diperdengarkan kembali ;

Buhaya Putih dan Keuyeup Bodas

Sejak jaman apa, Sungai Cimanuk dihuni oleh Buaya Putih dan Keuyeup Bodas, makhluk raksasa penjelmaan jin. Mungkin makhluk raksasa ini muncul pada jaman entah berantah. Kedua makhluk raksasa itu memiliki pengikutnya yang cukup banyak, hidup berada di sungai tetapi tidak pernah akur. Karena Buaya Putih tamak dan ingin menguasai sepanjang hulu sungai sampai Muara Sélong pantai utara Indramayu. Wadyabalad Keuyeup Bodas gerah setelah Buaya Putih memproklamirkan diri sebagai penguasa sungai, kemudian berseru kepada seluruh pengikutnya agar membuat danau raksasa dengan membendung Sungai Cimanuk.

Di danau ini, Buaya Putih akan menghabiskan hari-hari berbulan madu bersama putri dari Ratu Penguasa Pantai Utara. Seluruh pengikutnya, mulai dari kura-kura, biawak, komunitas ikan melaksanakan perintah Sang Penguasa sungai itu. Kecuali komunitas Keuyeup Bodas termasuk kepiting dan makhluk-makhluk kecil lainnya menentang rencana pembuatan bendungan raksasa tersebut. Sehingga menjadi sasaran kemarahan Raja Sungai yang sedang dimabuk asmara.

Buaya Putih berseru kepada seluruh panglimanya, agar membunuh Keuyeup Bodas dan seluruh pengikutnya, dengan mengerahkan ribuan pasukannya. Namun tak satupun wadyabalad Keuyeup Bodas dapat ditangkap, rupanya sebelum pasukan Buaya Putih menyerbu, mereka sudah lebih dulu bersembunyi di tempat yang aman. Sehingga menganggap pasukan Keuyeup Bodas mengungsi ke tempat lain. Maka dengan tenang wadyabalad Buaya Putih berbondong-bondong ke daerah Sanghyang Tikoro. Disanalah mereka menyatukan kekuatan, kemudian menghancurkan tebing-tebing sungai kiri dan kanan. Sanghyang Tikoro longsor. Bongkahan batu dan tanah menutup aliran sungai terjadilah banjir.

Keuyeup Bodas menyerukan kepada ribuan prajuritnya agar menjebolkan penyangga air, karena akan mengancam keselamatan manusia. Seketika airpun surut, membuat Buaya Putih marah. Ia tahu gelagat buruk itu tindakan Keuyeup Bodas, maka menyerukan kepada seluruh pengikutnya agar menyerbu pasukan Keuyeup Bodas. Seruan itu ditentang oleh panglima perangnya, karena membasmi Keuyeup Bodas bukan pekerjaan mudah. Menaklukan mereka harus dengan cara rékaperdaya (réka=akal, perdaya=sempurna). 

Dengan akal yang sempurna mereka akan bertekuk lutut. Akhirnya Buaya Putih menyerukan damai. Tetapi seruan itu tidak ditanggapi oleh Raja Keuyeup, membuat Buaya Putih marah besar. Akhirnya bertarung, Keuyeup Bodas berhasil dirobohkan. Buaya Putih bersumpah, Selama bernyawa tetap akan membendung walungan Cimanuk.

“Seandainya aku mati, rohku akan masuk ke dalam haté pengangung negara dan suatu saat orang-orang bule berdatangan di Cinambo, mereka adalah wakil-wakilku yang akan membendung walungan.”

Keuyeup Bodas menimpalinya, “Silakan, asal bisa!” Jawabannya pendek, membuat Buaya Putih murka. Pada saat hendak membunuh tiba-tiba Keuyeup Bodas berganti wujud menjadi gumpalan cahaya putih melesat ke angkasa. Buaya Putih terkejut, kemudian menggerakkan badannya seketika berubah wujud menjadi gumpalan cahaya merah melesat ke angkasa mengejar cahaya putih. 

*cerita dari destinasianews.com

Bambu Awi Tali Sumedang "Nampang" di Sebuah Pameran di Frankfurt, Jerman

$
0
0
Tali Awi Sumedang Melanglang Buana Ke Jerman
Image By :
tempo.co
Bambu, apa yang pertama kali sobat pikirkan ketika mendengar nama tanaman yang satu ini? Bagi sobat yang orang Sumedang, mungkin pikiran akan langsung tertuju pada bongsang tahu, ya, jadi mungkin sobat akan menjawab bambu adalah bahan baku untuk membuat bongsang tahu, bukan begitu? atau mungkin juga sobat akan menjawab bambu adalah bahan baku untuk membuat berbagai macam peralatan rumah tangga, bahan alat kesenian, dan lainnya, yang jelas bambu bisa dipergunakan untuk berbagai macam keperluan, terutama oleh masyarakat pedesaan. Itu dikarenakan bambu memiliki batang yang kuat, lentur, lurus, dan ringan sehingga mudah untuk diolah menjadi berbagai produk.

Selain itu, bambu juga sangat bermanfaat dalam konservasi tanah dan air, seperti diketahui, pohon bambu seringkali dipergunakan untuk penangkal erosi tanah, utamanya di pinggiran sungai. Itu dikarenakan ia memiliki sistem perakaran yang banyak, yang tentunya juga bisa menghasilkan rumpun yang banyak dan bisa menahan tanah dengan baik, pun juga sangat berperan dalam menjaga ketersediaan air.

Sayang, dengan segala kegunaannya tersebut, masyarakat masih kurang menghargai sumberdaya yang satu ini. Seperti yang diungkap dalam sebuah buku (Rifai, 1994 dalam Widjaja, dkk, 1994) dikatakan "walaupun manfaat dan peranan bambu cukup banyak, penghargaan masyarakat terhadap sumberdaya ini  masih kurang, bahkan berbagai aspek pengetahuan tentang bambu banyak yang  belum tergali secara optimal,".

Dalam hal nilai produk, salah satu buktinya bisa dilihat dari harga berbagai perkakas yang dibuat dari bambu, bambu Awi Tali misalnya yang sering dibuat aseupan atau bongsang Tahu Sumedang. Untuk aseupan harganya tidak menembus Rp. 10.000, pun demikian dengan bongsang tahu yang hanya dihargai Rp. 28.000 per 100 buah seperti pernah admin ceritakan di artikel berjudul Melihat Dari Dekat Perekonomian Pengrajin Bongsang.

Kabupaten Sumedang sendiri, menurut data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sumedang pada tahun 2001 merupakan salah satu penghasil bambu yang cukup besar di Jawa Barat, dimana hampir semua Kecamatan di Kabupaten Sumedang memiliki luas talun bambu atau kebon awi yang tidak kurang dari 10 hektar.
Awi Tali Biasa Dipakai Sebagai Bahan Baku Membuat Bongsang Tahu
Dari banyak jenis bambu yang ada di Kabupaten Sumedang seperti Haur Hejo, Haur Koneng, Awi Bitung, Betung, Awi Surat, Awi Tali, Awi Hideung, dan lainnya, Awi Surat dan Awi Tali atau G. apus adalah yang paling banyak tumbuh. Itu terjadi karena bambu jenis ini sengaja dibudidayakan oleh masyarakat, tentu, budidaya G. apus itu berkaitan dengan pemanfaatan bambu jenis ini untuk keperluan bahan dasar dari berbagai anyaman seperti yang tadi telah disebutkan, yaitu bongsang tahu, aseupan, sampai bilik untuk keperluan membuat rumah.

Awi Tali atau G. apus yang hasil olahannya mempunyai nilai ekonomi cukup rendah di skala lokal ini, ternyata bisa disulap menjadi karya seni yang sangat indah dan bahkan ditampilkan di mancanegara, tepatnya di Frankfurt, Jerman. Ya, bambu Awi Tali Sumedang muncul di pameran bertema Root-Indonesian Contemporary Art yang berlangsung di Frankfuter Kunstverein, Frankfurt, Jerman, beberapa waktu lalu. Spektakuler sekali bukan?!! bambu Awi Tali yang kita pandang sebagai bahan dasar biasa untuk membuat berbagai anyaman yang juga biasa, ternyata bisa melanglangbuana ke mancanegara jika berada di tangan orang yang tepat.

Dilansir dari harian elektronik Tempo.co, seniman Indonesia bernama Joko Avianto yang merupakan lulusan dari Fakultas Desain dan Seni, Institut Teknologi Bandung ini memboyong banyak Awi Tali asal Sumedang ke Frankfurt Jerman, untuk selanjutnya ia menjadikan bambu tersebut sebagai bahan dasar untuk membuat karya seninya yang spektakuler.

Karya seni yang membuat banyak warga Frankfurt dan pengunjung kafe Frankfuter Kunstverein terperangah itu ia beri nama Big Trees, yang disusun oleh lebih dari 1500 bambu Awi Tali. Ia memilin, memelintir, dan menganyam bambu itu membentuk sebuah karya yang mengagumkan. Pohon karya Joko ini berukuran panjang 14 meter, kedalaman 5 meter dan tinggi 9 meter. Ratusan bambu ini tertopang pada 100 batang bambu yang ditanam pada beton seukuran 1 x 1 meter persegi.

Bagaimana, sobat? Amazing sekali bukan? ini mungkin menjadi salah satu pembuktian bahwa barang atau sesuatu yang kita pandang biasa-biasa saja sebenarnya bisa disulap menjadi sesuatu yang luar biasa, namun  tentunya ini memerlukan keterampilan, kreasi, dan juga imajinasi. Mudah-mudahan kita juga bisa menjadi seseorang yang seperti itu, yang mampu berkreasi, menjadikan apa-apa saja yang terlihat biasa, menjadi luar biasa.

Kerupuk Melarat, Kenapa Disebut Kerupuk Melarat?

$
0
0
Kerupuk Melarat
Image By :
 top6akpermdn.wordpress.com
Kerupuk, tentu sebagian besar masyarakat Indonesia sangat familiar dengan makanan yang satu ini, makanan ringan ini menjadi teman makan yang bisa dikatakan "wajib ada" ketika kita akan menyantap nasi dengan lauk pauknya. "Kriuk-kriuk" nya akan menjadikan makan lebih nikmat dan lebih meriah, dan tentu akan terasa kurang lengkap jika makan tidak ditemani kerupuk sebagai salah satu lauknya.

Kerupuk sendiri biasanya merupakan camilan yang diolah menggunakan minyak goreng dalam wajan. Namun tidak demikian dengan kerupuk melarat, apa? kerupik melarat? iya, kerupuk melarat, kerupuk yang berasal dari Cirebon, Jawa Barat ini memang bernama Kerupuk Melarat. Kerupuk yang berasal dari Cirebon dan telah menyebar hampir ke seluruh pelosok Jawa Barat sehingga bisa dikatakan sudah menjadi bagian dari kuliner tradisional khas Jawa barat ini menggunakan pasir sebagai pengganti minyak dalam proses penggorengannya.

Karena proses pengolahan itulah, masyarakat Cirebon menyebutnya dengan sebutan kerupuk melarat. Lalu kenapa warga Cirebon menggunakan pasir untuk mengolah kerupuk ini? karena dulu nama kerupuk melarat  lahir ketika harga minyak goreng sangat mahal dan tidak semua lapisan masyarakat Cirebon kala itu mampu membelinyat. Karena hal itulah kemudian masyarakat Cirebon memasak kerupuk dengan cara yang lain, mereka berkreasi memasak kerupuk dengan menggunakan pasir, dan hasilnya memuaskan.

Tentu saja, pasir yang digunakan bukan sembarang pasir, melainkan pasir yang dijamin bersih, yang berasal dari pegunungan dan sudah melewati proses pengayakan dan penjemuran. Pengayakan dan penjemuran sendiri bertujuan untuk menghasilkan pasir yang bersih dan kering. Setelah itu, barulah pasir layak digunakan sebagai pengganti minyak.

Kerupuk melarat yang mempunyai rasa gurih ini mempunyai ciri khas, selain disangrai menggunakan pasir, ciri khas lainnya pada kerupuk melarat adalah warnanya yang beraneka ragam, seperti merah, putih, dan hijau. Dan, berbeda dengan kerupuk lainnya yang biasa dijadikan teman makan, kerupuk ini tidak hanya cocok dijadikan teman/lauk makan, tetapi juga biasa dimakan tanpa nasi atau makanan pokok, ia biasa dijadikan kudapan atau cemilan. Tertarik untuk mencoba, kawan?

Opak Cimanggung, Camilan Lintas Zaman

$
0
0
Opak Cimanggung, Oleh-oleh Khas Cimanggung
Image By :
 republika.co.id
Opak, bagi sobat warga Jawa Barat  tentu tidak asing lagi dengan makanan ringan khas daerah Priangan yang satu ini, opak. Ya, opak yang digolongkan sebagai makanan ringan atau camilan ini memang menyebar dan digemari di hampir seluruh pelosok Jawa Barat, khususnya di daerah Priangan. Di Sumedang pun, terdapat beberapa daerah yang mempunyai hasil produk unggulan dari camilan khas yang mempunyai rasa yang gurih ini, salah satunya adalah Kecamatan Conggeang dengan salah satu opaknya yang terkenal yaitu Opak Oded.

Selain Kecamatan Conggeang, di Sumedang, Kecamatan Cimanggung adalah tempat berikutnya yang mempunyai produk unggulan dari cemilan bernama opak ini. Di Kecamatan Cimanggung, produk unggulan makanan ringan berbentuk bulat pipih yang lekat dengan tekstur renyah dan rasa yang gurih ini dikenal dengan nama Opak Cimanggung. Dan sama halnya seperti opak dari Conggeang, meski dibuat dari beras ketan, sebagai makanan ringan tentu Opak Cimanggung tidak akan begitu mengenyangkan meski dimakan dalam jumlah yang banyak.

Opak Cimanggung banyak dijual di Jalan Raya Cicalengka - Nagreg, tepatnya di perbatasan Kabupaten Bandung dan Sumedang, Ya, karena Kecamatan Cimanggung merupakan salah satu daerah di Sumedang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bandung. Di tempat ini, sobat bisa melihat toko-toko berjejer di pinggir jalan menjajakan berbagai camilan tradisional, dimana salah satu camilan tradisional yang bisa sobat jumpai di sini adalah opak ketan Cimanggung.

Dan karena itulah, meski opak ini berasal dari Cimanggung yang notabene masih termasuk daerah Sumedang, Opak Cimanggung justru lebih mudah dijumpai di toko-toko di Kabupaten Bandung dan pinggiran Jalan Raya Cicalengka-Nagreg (Kabupaten Bandung), daripada di pusat Kabupaten Sumedangnya sendiri.

Makanan ringan ini juga dapat ditemukan di kawasan Terminal Leuwi Panjang dan Pasar Kosambi, Kota Bandung. Dan seperti kebanyakan opak dari daerah lainnya, Opak Cimanggung juga menjadi salah satu makanan yang tidak pernah absen di acara-acara hajatan, ia selalu dipesan jika akan ada acara hajatan di sekitaran daerah Cimanggung. 

Cara pembuatan Opak Cimanggung sebetulnya relatif sama dengan cara pembuatan opak pada umumnya, yaitu dibuat dari beras ketan yang ditanak, lalu ditumbuk sampai halus. Yang membedakannya dengan opak ketan biasa adalah kualitas bahan yang digunakan, dimana Opak Cimanggung, menggunakan beras ketan yang benar-benar dipilih dengan baik, dan tidak bercampur dengan beras biasa.

Selain itu, santan kelapa yang dipakai untuk membuat Opak Cimanggung adalah satu banding satu (untuk satu liter beras ketan yang dipakai membutuhkan satu buah kelapa), sementara opak yang lain tidak menggunakan santan, biasanya hanya menggunakan kelapa parut. Tumbukan berasnya pun diusahakan sehalus mungkin, sangat halus. Kesemua faktor tesebut tentu sangat mempengaruhi hasil akhirnya nanti ketika opak sudah dibakar, ini yang menjadikan kualitas Opak Cimanggung lebih bagus dibanding opak dari daerah lain.

Ada kisah membanggakan dibalik keberadaan Opak Cimanggung ini, yang menarik, kisah tentang Opak Cimanggung ini memberikan sedikit gambaran pada kita bahwa ia sudah ada sejak zaman kerajaan dulu. Ini berarti, kuliner ini tetap terjaga eksistensinya dari zaman dulu hingga sekarang, dan ia, Opak Cimanggung, sudah menjadi makanan ringan lintas zaman yang tetap eksis hingga saat ini.

Dikisahkan, saat Sumedang masih berstatus sebagai sebuah kerajaan yang bernama kerajaan Sumedang Larang, makanan berbahan dasar beras ketan yang lekat dengan rasa gurih ini dulunya merupakan penganan favorit raja dan para pangeran di kerajaan tersebut. Sehingga dulu, makanan ringan ini biasa disajikan di istana setelah sebelumnya khusus dipesan dari daerah yang sekarang bernama Cimanggung.

Dapat Kiriman Kaos Keris Nagasasra

$
0
0
Alhamdulillah, pada hari Selasa minggu kemarin tepatnya tanggal 13 Oktober 2015, saya selaku admin blog Wewengkon Sumedang mendapat kiriman kaos Sumedang bertema Keris Nagasasra yang super keren dan sangat nyaman ketika dipakai. Kaos berwarna putih cerah dengan sablonan yang hebring ini merupakan pemberian dari seorang sahabat Facebook Ricky Nov Tshirtstore, yang juga merupakan admin dari blog Kaos Asli Sumedang.

Keris Nagasasra merupakan senjata pusaka milik salah seorang penguasa Sumedang di masa lalu, Pangeran Kornel. Keris ini menjadi saksi bisu perlawanan beliau melawan penjajah Belanda pimpinan H.W Daendels yang melakukan invasi ke Sumedang saat itu. Keris Nagasasra, Pangeran Kornel, dan H.W Daendels merupakan pusaka dan sosok-sosok yang tidak bisa dipisahkan dalam peristiwa sejarah Sumedang di masa lalu, yaitu peristiwa Cadas Pangeran, peristiwa heroik monumental yang penuh dengan nilai-nilai patriotik. Dengan kata lain, kaos bertemakan Keris Nagasasra ini bisa dikatakan Sumedang Banget !!

Admin mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya pada Kang Ricky, yang disela-sela kesibukan travellingnya telah menyempatkan diri untuk mengirim dan menghadiahkan kaos yang "Sumedang Banget" ini, mudah-mudahan, semangat Pangeran Kornel dengan Keris Nagasasra-nya dalam melawan kesewenang-wenangan bisa tumbuh dan terpatri di hati kita semua, utamanya pada sahabat-sahabat yang memakai kaos Nagasasra serta kaos-kaos lainnya produksi Kang Ricky.

Admin doakan, semoga Kang Ricky makin lancar usahanya, makin laris kaosnya, dan semoga kaos-kaos Sumedang produksi Kang Ricky bisa menanamkan dan menularkan Sumanget Kasumedangan bagi siapa saja yang memakainya. Kaos Sumedang, jangan hanya dipandang sebagai sebuah pakaian, tapi lebih jauh, memiliki makna yang mendalam tentang semangat dan filosofi Sumedang, aku lahir aku menerangi, aku lahir untuk mendatangkan cahaya...bagi Sumedang tercinta. Kaos Sumedang, sebagai salah satu karya, sebagai salah satu langkah mengenalkan Sumedang pada dunia luar, dan sebagai bukti, bahwa kita semua cinta Sumedang.

Sekali lagi, admin mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya pada Kang Ricky, mudah-mudahan Blog WS dan Kaos Sumedang bisa terus bersinergi demi Sumedang. Bagi sobat yang ingin memesan atau melihat-lihat kaos Sumedang produksi kang Ricky, bisa dicek di link Blog berikut ini Kaos Asli Sumedang, kaosnya dijamin nyaman, modis, dan tidak akan mengecewakan. Tapi harap diingat !! Seuseuh sorangan ulah ku mitoha !! Begitulah pesan Kang Ricky dalam kaosnya, hehe.

Menjelang Sore di Waduk Jatigede

$
0
0
Menjelang Sore di Waduk Jatigede
Menjelang Sore di Waduk Jatigede
Gambar di atas merupakan foto Waduk Jatigede yang masih dalam proses penggenangan, semenjak resmi digenangi pada tanggal 31 Agustus 2015. Waduk Jatigede, waduk yang dibangun dengan membendung aliran Sungai Cimanuk di wilayah Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang ini sebenarnya pembangunannya telah direncanakan sejak zaman Hindia Belanda. Namun karena banyak mendapat tentangan dari masyarakat sekitar, pembangunannya pun dibatalkan. Baru kemudian pada tahun 1990-an, rencana pembangunan Waduk Jatigede ini kembali mengemuka.

Langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintah adalah merelokasi masyarakat yang tinggal di wilayah calon genangan. Relokasi pertama dilakukan pada tahun 1982. Tapi setelah itu, pembangunannya pun tersendat kembali hingga waktu yang lama dan baru bisa terealisasi penggenangannya tanggal 1 Agustus 2015. Dengan demikian, waduk yang menjadi waduk terbesar ke-2 di Republik Indonesia ini merupakan waduk dengan masa pembangunan terlama di dunia semenjak direncanakan sampai terealisasi.

Memandangi Tampomas

$
0
0
Photo Gunung Tampomas Dari Perbatasan Kabupaten
Photo Gunung Tampomas Dari Perbatasan Kabupaten
Gunung Tampomas, merupakan gunung yang sangat melegenda di Kabupaten Sumedang, ia menyimpan berbagai cerita, baik cerita rakyat maupun sejarah. Gunung ini merupakan gunung berapi yang sudah tidak aktif, karena dulunya merupakan gunung berapi, tidak heran tanah yang berada di sekitar gunung ini sangat subur dan penuh dengan keanekaragaman hayati, dan juga kaya akan sumber daya pasir. Sayang, karena itu pulalah gunung ini banyak dieksploitasi dan menyebabkan berbagai kerusakan di sebagian besar kaki gunungnya.

Dengan ketinggian 1684 meter mdpl dan letaknya yang berada di tengah-tengah Kabupaten Sumedang, yaitu berdiri di atas beberapa kecamatan (Kecamatan Cimalaka, Kecamatan Conggeang, Kecamatan Paseh, Kecamatan Buahdua, dan Kecamatan Tanjungkerta) menjadikannya tampak gagah berdiri sebagai benteng alam Sumedang. Oleh karenanya, gunung yang menjadi favorit para pendaki dan pecinta alam ini bahkan masih dapat terlihat dari Kabupaten lain, seperti gambar di atas merupakan photo pemandangan Gunung Tampomas yang diambil dari Gunung Kareumbi di perbatasan Kabupaten Sumedang dengan Kabupaten Bandung.

Kopi Luwak Sumedang Tembus Pasar Jepang

$
0
0
Warga Sedang Memilah Biji Kopi Hasil Fermentasi Luwak
Image By : Sumedang Ekspres
Siapa tidak mengenal kopi luwak, jenis seduhan kopi yang menggunakan biji kopi dari sisa kotoran luwak/musang ini menjadi primadona karena rasanya yang sangat nikmat. Namun, keberadaannya yang cukup langka menjadikan jenis kopi ini mempunyai harga yang terbilang fantastis. Karenanya, hanya pecinta kopi berkocek tebal saja yang bisa menikmati kenikmatan kopi nomor satu ini.

Daerah yang terkenal dengan kopi luwaknya antara lain adalah  Gayo (Aceh), Sidikalang, Desa Janji Maria (Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Padang Lawa), Kota Pagaralam, Semende (Kabupaten Muara Enim), dan Liwa (Kabupaten Lampung Barat), namun, siapa mengira Kabupaten Sumedang, tepatnya di Kecamatan Rancakalong  juga bisa memproduksi kopi yang paling dicari pecinta kopi ini.

Petani dan pengolah kopi luwak di Kecamatan Rancakalong salah satunya adalah Sulaeman, warga Dusun Citangku, Desa Nagarawangi, Kecamatan Rancakalong. Sekarang, ia merupakan salah satu petani kopi luwak yang cukup sukses mengembangkan usahanya, bahkan, kopi luwak produksinya selain dinikmati di dalam negeri juga telah diekspor ke Jepang. Ya, kopi luwak Sumedang juga bisa menembus pasar Jepang.

Sekarang ini, Sulaeman dan petani kopi luwak lainnya bahkan cukup kesulitan melayani permintaan pasar, baik dari dalam negeri, maupun permintaan dari luar negeri, salah satunya adalah Jepang seperti yang tadi telah disebutkan. Tidak jarang, karena banyaknya permintaan, Sulaeman dan petani lainnya sampai tidak bisa memenuhi pesanan.

“Jujur saja, saat ini kami justru belum bisa memenuhi kebutuhan pasar, terutama pesanan dari Jepang, begitu pula kafe-kafe di tanah air. Karena, saat ini hasil produksi kopi luwak masih terbatas. Mudah-mudahan ke depan permintaan pengusaha asal Jepang itu mampu kami penuhi,” tutur Sulaeman.

Kopi luwak Rancakalong ini digemari sampai ke luar negeri karena memiliki rasa yang khas dan berbeda. Itu karena, biji kopi yang difermentasikan dalam saluran pencernaan luwaknya merupakan biji kopi dengan kualitas terbaik. Kualitas biji kopi terbaik itu semakin meningkat setelah luwak memakannya dan difermentasikan dalam pencernaannya.

Kopi luwak yang dihasilkan biasanya kira-kira adalah 40% dari total kopi yang diberikan sebagai pakan. Misal, dari 20 kilogram kopi mentah yang diberikan kepada luwak untuk dimakan, akan menghasilkan kurang lebih 8 kilogram kopi luwak. Setelah dibersihkan maka didapatkan kopi yang berbentuk kopi basah. 

Dalam tahap pengolahannya menjadi kopi bubuk, beratnya akan kembali mengalami penyusutan. Sebagai gambaran, setelah kopi basah dikupas, akan menghasilkan kopi kering, bila ada 4 kilogram kopi basah, maka akan didapatkan 2 kilogram kopi kering. Kopi kering ini kemudian akan dijemur dan dikupas lagi menjadi butiran kopi.

Ya, barulah setelah butiran kopi dijemur dan benar-benar kering, kopi dipanggang (roasting) dan digiling menjadi bubuk. Oleh karenanya dari total berat kopi yang diberikan sebagai pakan, akan mengalami beberapa kali penyusutan berat. Tapi, itu tentu tidak menjadi masalah mengingat kopi luwak walau sedikit memiliki harga selangit, dimana setiap 100 gramnya bisa mencapai harga Rp 100 ribu. Sementara kemasan kopinya dibuat sedemikian rupa agar menarik. 

Memang, dalam menggeluti usahanya, petani kopi luwak yang telah menggeluti usahanya bertahun-tahun lamanya ini tidak langsung sukses seperti sekarang, ia pernah mengalami jatuh bangun karena persaingan dengan beragam jenis kopi lokal maupun impor yang menjadi pesaingnya dalam memasarkan produk kopi luwak. Menurut Sulaeman, ia dan para petani kopi luwak lainnya sudah mulai menanam kopi sekaligus beternak careuh (luwak) sejak 2006, dan baru berhasil di tahun 2015 ini setelah tahun-tahun sebelumnya usahanya mengalami pasang surut.

"Kalau dulu, bahkan banyak stok kopi luwak yang tidak terjual dalam setiap panennya," pungkasnya.
Viewing all 114 articles
Browse latest View live