Quantcast
Channel: My Sumedang
Viewing all 114 articles
Browse latest View live

Asal Mula Nama Talun & Panyingkiran

$
0
0
Suasana di Daerah Panyingkiran, Sumedang
Image By : instagram @fotosumedang
Talun dan Panyingkiran, adalah nama salah satu daerah di kawasan Sumedang kota. Jalan Talun, menjadi penanda bahwa daerah disekitaran jalan tersebut merupakan daerah atau blok yang termasuk dalam kawasan daerah Talun. Sementara Panyingkiran, tempatnya tidak begitu jauh dari kawasan yang sekarang menjadi kawasan Induk Pusat Pemerintahan (IPP) Kabupaten Sumedang.

Sama dengan nama beberapa tempat di Sumedang seperti Jalan Pagar Betis, konon, nama Talun dan Panyingkiran sendiri mempunyai cerita dan sejarah yang masih ada sangkut pautnya dengan masa-masa perjuangan kemerdekaan di Republik Indonesia ini. Berikut asal mula nama Talun dan Panyingkiran, Sumedang.

Asal Mula Nama Talun dan Panyingkiran

Ketika jaman peperangan dulu, di Sumedang terdapat satu Batalyon pasukan yang bernama Batalyon Sebelas April, nama Batalyon tersebut sekarang dijadikan nama sebuah jalan di Sumedang, jalan Sebelas April. Ketika itu, karena satu dan lain hal seperti kehabisan amunisi senjata, tentara-tentara yang tergabung dalam Batalyon Sebelas April mencari tempat bersembunyi dari penjajah, Ketika itu kemerdekaan Republik Indonesia telah diproklamirkan, tapi Sumedang masih berada dalam cengkeraman penjajah.

Mulanya, markas tentara Sebelas April berada di daerah yang sekarang menjadi daerah (jalan) Prabu Geusan Ulun, tapi markas tersebut hancur tak tersisa ketika penjajah menemukannya, mereka mengebom dan meluluh lantakkan markas itu. Saat itu merupakan saat-saat paling genting dan membuat tentara Sebelas April terjepit, mereka bingung harus menghindar kemana lagi, karena hampir semua daerah dikepung penjajah sementara prajurit satu demi satu telah gugur.

Atas inisiatif Letnan Warsono saat itu, diusulkan  agar pasukan dikomando menyingkir kesebuah daerah, daerah tersebutlah yang sekarang bernama "Panyingkiran". Tapi ternyata, ada salah satu pasukan Batalyon yang berkhianat dan memberitahu pasukan penjajah mengenai tempat persembunyian baru yang mereka tempati itu. Akibatnya, diceritakan tempat persembunyian tentara Sebelas April itu berhasil dilacak oleh penjajah, penjajah kembali menyerang dan berusaha menghancurkan markas persembunyian sama seperti sebelelumnya, karena mereka ingin sepenuhnya menguasai Sumedang.

Melihat itu, melihat pasukan Batalyon semakin tersudut karena tempat persembunyiannya berhasil dilacak, Letnan Warsono hampir menyerah pada keadaan, karena tempat itu adalah tempat terakhir yang masih bisa dipakai untuk berlindung, pikirnya. Tapi mereka masih berusaha mencari tempat lain, mereka kembali berpindah.

Di tengah kebingungannya, Letnan Warsono bertemu dengan salah seorang penduduk yang merupakan Kyai setempat, Kyai itu memberitahunya bahwa masih ada tempat yang aman yang bisa dipakai untuk tempat berlindung dan beristirahat, tempat itu bernama daerah Nalun, Batalyon Sebelas April yang tersisa sepakat untuk menuju ke tempat itu, dan benar saja, di tempat itu mereka bisa berlindung. Nalun sendiri artinya adalah berkumpul. Nama Nalun tersebut sedari dulu diubah pengucapannya oleh warga pribumi menjadi "Talun", yang berarti tempat berkumpul, yaitu tempat berkumpulnya bala tentara Sebelas April.

*cerita digubah dari liesganesti.blogspot.com

Resep Tahu Gejrot Sumedang

$
0
0
Tahu Gejrot Sumedang
Tahu Gejrot Sumedang
Tahu Gejrot, kuliner yang satu ini merupakan khas kota Cirebon dan identik dengan Cirebon. Ya, di Cirebon, di setiap pusat-pusat keramaian, pedagang yang menjajakan Tahu Gejrot ini hampir pasti selalu ada. Pedagangnya biasanya merupakan pedagang keliling, ia membawa tahu, cabe rawit, dan bahan-bahan serta perkakas lainnya dengan cara ditanggung.

Tahu Gejrot, dari namanya saja kita sudah mengerti, bahwa bahan utama yang ditonjolkan dalam kuliner ini adalah tahu, di sisi lain, Sumedang mempunyai kuliner khas Tahu Sumedang yang sudah termasyhur kelezatannya. Ini juga berarti, tidak mustahil Tahu Sumedang bisa dibuat Tahu Gejrot, seperti yang sering admin praktekkan. Bagi penggemar kuliner tahu, tidak ada salahnya mencoba kuliner Tahu Gejrot Sumedang ini, bumbu-bumbu nya pun cukup sederhana sehingga mudah dibuat.

Bagi sobat yang tertarik untuk membuat, berikut resep Tahu Gejrot Sumedang (untuk 1 porsi) ;

1. Pertama-tama, siapkan dulu bahan-bahannya ;
  • 6 buah Tahu Sumedang,
  • 1 gandu (1 bulatan gula merah) setara 25 gram gula merah.
  • Air secukupnya,
  • Garam secukupnya,
  • Asam Jawa, atau bisa diganti dengan cuka secukupnya,
2. Bahan yang diulek ;
  • 2 siung bawang merah, diulek kasar, dan bagi yang suka boleh juga ditambah bawang putih,
  • 5 buah cabai rawit, diulek kasar,
  • Kedua bahan tersebut diulek kasar agar tercipta sensasi rasa alami dan sedikit "kriuk" ketika mengunyahnya. Tapi bagi yang tidak suka, bisa juga diulek sampai halus,
  • Ulek asam jawa secukupnya sampai halus,
  • Ulek gula merah yang telah disediakan sampai tercampur rata dengan bawang merah dan cabe rawit, ulek sampai tampak kalis
3. Campurkan bahan-bahan
  • Tambahkan sedikit air pada ulekan gula merah + bawang merah dan cabe rawit yang telah siap. Air ditambahkan sampai "adonan" gula merah tampak melumer, tambahkan air sampai bumbu terlihat sedikit lebih lumer dari bumbu petis/rujak,
  • Tambahkan garam dan cuka (jika tidak menggunakan asam jawa) secukupnya, lalu aduk merata. Garam dan cuka (atau asam jawa) ditambahkan sampai rasa manis, pedas, asin, dan asamnya seimbang dan tidak hambar atau sebaliknya (melenger),
  • Tuangkan bumbu yang telah siap pada piring/mangkuk kecil, atau untuk menambah sensasi alami, bisa juga tetap dibiarkan pada coet (tempat mengulek yag terduat dari tanah liat) atau tempat menguleknya,
  • Potong masing-masing Tahu Sumedang menjadi 4 bagian, dan masukan dalam bumbu yang telah siap,
  • Aduk-aduk, tunggu beberapa saat agar bumbu meresap,
Tahu Gejrot Sumedang sudah siap dinikmati, rasa manis, pedas, asam, asin, dan gurih akan bercampur menjadi satu dan dijamin akan menggoyang lidah sobat semua, selamat mencoba.

    Balap Kuda Kembali Digelar, Penonton Antusias

    $
    0
    0
    Para Peserta Lomba Pacuan Kuda Sedang Memacu Kudanya
    Para Peserta Lomba Pacuan Kuda Sedang Memacu Kudanya di Lintasan Arena
    Pada hari Sabtu sampai Minggu tanggal 21-22 November 2015 kemarin, Kabupaten Sumedang kembali mengadakan lomba balap kuda di lapangan pacuan kuda yang terletak di Kelurahan Kota Kaler, Kecamatan Sumedang Utara. Puluhan ribu warga dari berbagai daerah di Sumedang tumpah ruah ke tempat itu untuk menyaksikan lomba pacuan kuda yang sudah lama tidak digelar di Sumedang.

    Lomba balap kuda di arena pacuan kuda Sumedang ini, merupakan hiburan tradisional yang sudah menjadi tradisi dan melekat secara kultural di tengah masyarakat Sumedang. Tidak heran, karena olahraga ini sudah digelar sejak zaman leluhur dulu, ia mengalami masa jayanya pada masa pemerintahan Pangeran Aria Soeria Atmadja seperti pernah admin ceritakan di artikel berjudul Pacuan Kuda Dalam Cerita. Oleh karenanya, olahraga ini sudah mendapat tempat di hati masyarakat Sumedang sejak Sumedang tempo dulu.


    Karena hal itu pulalah, lapangan pacuan kuda Sumedang ini menjadi satu-satunya di Jawa Barat yang tidak akan mungkin tergusur untuk kepentingan apapun, termasuk untuk kepentingan pembangunan, baik oleh pembangunan perumahan rakyat, ataupun yang lainny. Itu karena, lapangan pacuan kuda Sumedang merupakan heritage peninggalan leluhur atau karuhun Sumedang yang telah dilindungi oleh undang-undang. Dengan itu, mudah-mudahan lapangan pacuan kuda ini tidak akan tergusur seperti pada kasus lapangan pacuan kuda di Arcamanik.

    Dengan demikian, tidak heran momen hiburan tradisional rakyat Sumedang ini disambut dengan sangat antusias oleh warga, animo masyarakat ini seolah menegaskan bahwa budaya balap kuda di Sumedang tidak akan hilang begitu saja, meski sekarang sudah sangat jarang digelar. Itu terbukti dengan ribuan warga yang tumpah ruah ke tempat itu selama perhelatan digelar. Apalagi, para peserta lomba balap kuda kemarin berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat, tentu ini membuat warga penasaran, bahkan banyak yang sampai masuk ke jalur lintasan balap kuda untuk melampiaskan rasa penasarannya..

    Karena hal itu pula, petugas keamanan saat itu sepertinya dibuat sibuk, karena petugas dan jumlah penonton sangat tidak berimbang. Apalagi, lapangan pacuan kuda tradisional di Sumedang ini tidak dilengkapi pagar yang mengelilingi seluruh arena, dan tidak ada pula area yang disediakan khusus untuk penonton.

    Akibatnya, selain menonton di arena lintasan, penonton juga meluber ke badan jalan yang ada di sekitaran arena itu. Belum lagi munculnya pedagang serta parkir dadakan yang menambah kesemrawutan di sekitaran area lomba, maka kemacetan di jalan-jalan yang berada sekitaran daerah itu pun tidak dapat dielakkan. Antusiasme itu sepertinya menunjukkan bahwa masyarakat Sumedang memang haus akan hiburan.

    Event yang sama sekali tidak dipungut biaya untuk menyaksikannya itu, tentu saja semakin menyedot mereka yang memang haus akan hiburan khas daerahnya. Untungnya, meski di sekitaran area pacuan kuda itu dijejali penonton, tidak ada kejadian atau kecelakaan yang terjadi, itu tentu patut disyukuri.

    Melihat antusiasme penonton itu, tentu ini menyimpan potensi dan bisa dikembangkan menjadi daya tarik wisata Kabupaten Sumedang, apalagi jika event tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga tampak lebih bergengsi. Tentu, itu hanya akan bisa terjadi jika event ini difasilitasi oleh pihak terkait dan tidak hanya menjadi kegiatan rutin saja. Event potensial ini bila dikemas sedemikian rupa, bisa menjadi pemasukan untuk kas daerah Sumedang. Seiring waktu, semoga hal tersebut bisa terwujud di masa yang akan datang.

    Antara Taman Endog, Teori Big Bang, dan Wawacan Endog Sapatalang

    $
    0
    0
    Tugu Taman Endog, Sumedang
    Tugu Taman Endog, Sumedang
    Taman Endog, atau Taman Telur jika diartikan dalam Bahasa Indonesia, merupakan salah satu Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada di pusat kota Sumedang. Taman yang dibangun sekitar tahun 1990-an oleh Pemkab Sumedang ini, di tengah tamannya terdapat tugu berbentuk telur raksasa yang di bawahnya disangga oleh dua tangan, itulah kenapa taman ini disebut dengan "Taman Endog".

    Taman Endog ini menjadi penanda pertigaan menuju daerah kabuyutan yang ada di Sumedang, yaitu Kabuyutan Cipaku, Darmaraja. Sayangnya, kabuyutan ini berada di area genangan Waduk Jatigede yang sudah mulai digenangi Agustus 2015 kemarin, otomatis, salah satu kabuyutan yang ada di tanah Sunda ini akan tergenang, dan menghilang dari pandangan mata.

    Tidak banyak yang mengetahui, bahwa pembangunan Taman Endog atau Taman Telur ini diilhami oleh wawacan Endog Sapatalang, wawacan Endog Sapatalang sendiri tertulis dalam buku Cipaku. Wawacan (cerita) Endog Sapatalang, yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia berarti Cerita Telur Satu Rangkaian ini menurut seorang sesepuh yang bernama Ki Wangsa, menceritakan tentang proses penciptaan alam semesta.

    Penciptaan alam semesta oleh Tuhan ini, dimulai dari sesuatu yang sekarang disebut dengan cahaya. Dalam wawacan itu diceritakan, cahaya tersebut membentuk asap tebal yang menggumpal sampai mengeras, menyerupai telur, dan terbentuklah "calon" alam semesta. Ya, karena Alam semesta yang ada itu ibarat telur yang pecah dan berserak, sebagian menjadi langit, dan sebagian menjadi bumi. Air yang berada dalam telur disebut alam Tirta, merah telurnya disebut alam Marcapada (alam dunia yang tampak), putih telurnya menjadi alam Mayapada (alam jin), selaput tipis pembungkus putih telur disebut alam Wa'dah (ghaib), dan selaput paling tipis yang menempel di kulit telur adalah alam Surya Laya (alam Rahyang, alam dewa-dewi, atau malaikat dalam versi Islam). Telurnya sendiri ibarat alam hakekat yang tidak bisa diukur atau dicapai oleh keterbatasan akal dan pikiran manusia.

    Dengan kata lain, dalam wawacan ini diceritakan Tuhan menciptakan alam semesta dengan segala isinya dari cahaya yang memadat, yang kemudian pecah menyebar ibarat telur yang pecah berserak, serakan telur itu  kemudian menjadi matahari, bulan, planet, gugusan bintang yang membentuk galaxy, black hole, dan begitu banyak lagi rahasia alam yang belum terungkap. Dimana dalam penciptaan itu, Tuhan menganugerahkan kehidupan pada tempat-tempat yang dipilih, seperti pada planet bumi ini misalnya, Tuhan menciptakan makhluk hidup berupa manusia, hewan, dan tumbuhan. Dalam wawacan Endog Sapatalang, proses penciptaan alam semesta dilakukan dalam 15 hari 15 malam.

    Wawacan Endog Sapatalang ini merupakan wawacan atau cerita yang memuat kearifan lokal suatu daerah, yang tentu saja hampir sama dengan sebagian besar cerita daerah lain yang hanya berkembang dan diketahui dalam skup kecil, skala kedaerahan. Bahkan, tidak mustahil orang Sumedang sendiri banyak yang belum tahu tentang wawacan Endog Sapatalang ini.

    Tapi sobat, apakah sobat merasa familiar dengan cerita yang ada dalam wawacan Endog Sapatalang tentang penciptaan alam semesta di atas? Ya, wawacan Endog Sapatalang ini sangat mirip dengan teori Big Bang yang dicetuskan oleh ilmuwan barat bernama Edwin Hubble. Atau mungkin justru sebaliknya, teori Big Bang Edwin Hubble-lah yang mirip dengan wawacan Endog Sapatalang dari Cipaku Sumedang, karena wawacan itu sudah ada jauh sebelum Hubble mengemukakan teori Big Bang-nya.

    Secara sederhana, Teori Big Bang, yang berati ledakan dahsyat atau dentuman besar dalam kosmologi adalah salah satu teori ilmu pengetahuan yang menjelaskan tentang awal mula terjadinya alam semesta. Teori ini menyatakan bahwa alam semesta ini berasal dari kondisi awal yang super padat dan panas, kondisi tersebut berlangsung sampai kemudian terjadi ledakan besar, hasil dari ledakan tersebut kemudian mengembang, dan menciptakan sistem tata surya yang ada sekarang.

    Dan dikutip dari Wikipedia, ledakan dahsyat atau dentuman besar (Big Bang) merupakan sebuah peristiwa yang menyebabkan pembentukan alam semesta berdasarkan kajian kosmologi mengenai bentuk awal dan perkembangan alam semesta. Berdasarkan pemodelan ledakan ini, alam semesta, awalnya dalam keadaan sangat panas dan padat, mengembang secara terus menerus hingga hari ini.

    Jika dilihat sekilas dengan tidak mengurai kenapa Teori Big Bang itu bisa terbentuk, wawacan Endog Sapatalang terlihat mempunyai pola cerita sama persis dengan teori Big Bang yang dikemukakan oleh Edwin Hubble itu, perbedaannya hanya terletak pada ilustrasi yang digunakan. Dengan demikian, apakah Edwin Hubble pernah datang ke Cipaku Sumedang untuk menghayati wawacan Endog Sapatalang sebelum mengemukakan teori Big Bang-nya? Entahlah.

    Atau, apakah leluhur Sunda umumnya dan leluhur Sumedang di Cipaku khususnya telah menguasai ilmu kosmologi jauh sebelum orang-orang barat menelitinya? Karena, rasanya mustahil kalimat-kalimat yang menyusun wawacan Endog Sapatalang itu hanya kalimat rekaan asal jadi yang berdasarkan imajinasi saja, pasti ada pengamatan, penelitian, dan kontemplasi di balik lahirnya wawacan Endog Sapatalang itu. Tapi tentu, ilustrasi yang dipakai dalam wawacan atau cerita itu hanya menggunakan bahasa-bahasa sederhana, yang dimengerti dan mudah diterima banyak orang sesuai zamannya. Wallahu'alam

    Ujung Jaya Sumedang Lautan Trail

    $
    0
    0
    Ujung Jaya Sumedang Lautan Trail
    Ujung Jaya Sumedang Lautan Trail. Image By : news.motorplus-online.com
    Hari Minggu lalu, tepatnya tanggal 22 Novembeer 2015 besamaan dengan digelarnya lomba Pacuan Kuda di Kecamatan Sumedang Utara, di Desa Cibuluh, Kecamatan Ujung Jaya juga digelar perhelatan besar berupa gelaran Adventure Trail. Gelaran itu terbilang mengejutkan, karena tanpa diduga-duga, Event yang diadakan oleh Trail Medang Kahiang (TMK) bertajuk Hajatan Trail Medang Kahiang (TMK) 2015 itu dibanjiri ribuan adventurer, total sekitar 1.600 trail adventurer hadir pada acara itu.

    Kehadiran 1.600 biker penjelajah alam bebas dengan motor trailnya itu menjadikan Ujung Jaya Sumedang sebagai lautan trail !! Moment yang bisa dibilang luar biasa dan jarang terjadi di Sumedang. Hebatnya, perhelatan ini diadakan oleh kalangan masyarakat desa sendiri sebagai penyelenggara. Karena animo warga yang cukup besar terhadap olahraga ini, itu bukanlah hal yang mustahil.

    Pada event ini, selain doorprize yang disediakan berupa 1 unit mobil Vitara, 3 unit motor jenis matic, 3 kulkas, 3 TV, dan puluhan doorprize lain, para peserta juga diberikan kejutan di sepanjang jalur lintasan area, karena area yang dilalui sarat akan nilai-nilai edukasi, yaitu sejarah Sumedang di masa lalu.

    Ya, jalur lintasan sepanjang 50 km yang melalui Cisaat, Buyut, Jakim, Cipeuteuy, Batununggal, Rangkong dan Kondang itu merupakan lintasan yang penuh dengan nilai historis, yaitu sejarah tentang peninggalan Kerajaan Medang Kahiyangan (252-290 M) dan Kerajaan Gunung Karang Padjajaran yang dipimpin seorang ratu perempuan bernama Ratu Dewi Imbang Rasa. Itu tentu membuat event ini semakin mengasyikkan bagi para adventurer, dan menambah kepuasan mereka ketika melibas jalur yang penuh tantangan di sepanjang lintasan itu.

    Atusiasme para bikers dalam event tersebut memperlihatkan, Desa Cibuluh khususnya dan Kecamatan Ujungjaya umumnya memiliki potensi yang besar bagi pengembangan jenis olahraga motor trail ini, atau dengan kata lain, wilayah itu merupakan wilayah potensial yang layak investasi bagi para investor yang bergelut di bidang olahraga motor trail.

    Ditambah lagi, daerah Ujungjaya akan semakin ramai jika proyek-proyek besar seperti tol Cisumdawu, Bandara Internasional Kertajati di Majelangka, Waduk Jatigede, dan jalan rel kereta api jalur Bandung-Cirebon telah selesai dikerjakan, karena semua proyek tersebut sangat dekat dengan wilayah kecamatan Ujung Jaya, belum lagi kawasan Ujung Jaya memang direncanakan akan dijadikan kawasan Industri oleh Pemkab Sumedang.

    Jika semua proyek pembangunan nasional itu sudah selesai dikerjakan, uga Ujung Jaya jadi Nagara sepertinya akan benar-benar terwujud, Ujung Jaya jadi negara, dalam artian Kecamatan Ujungjaya akan berkembang pesat menjadi Kota Metropolis Khusus, kota besar yang menjadi pusat bisnis di perbatasan Sumedang dengan Majalengka dan Indramayu. Dan itu tentu, juga menjadi peluang bagi olahraga motor trail di Kecamatan Ujung Jaya untuk terus berkembang.

    Dipelesetkan Jadi Campur Racun, Ini Makna Kata Sampurasun Sebenarnya

    $
    0
    0
    Ilustrasi Salam Khas Sunda, Sampurasun
    Ilustrasi Salam Khas Sunda, Sampurasun. Image By :splendidofsun.deviantart.com
    Belakangan ini, sedang heboh berita tentang dipelesetkannya kata Sampurasun, yang merupakan salam khas orang Sunda, menjadi kata "Campur Racun" oleh seorang habib yang juga merupakan imam besar sebuah organisasi massa. Pelesetan tersebut, tentu saja menyakiti hati seluruh masyarakat Sunda, karena Sunda bukan hanya sekedar suku bangsa, bagi orang-orang Sunda, menjadi Sunda adalah suatu kebanggaan, jati diri Sunda akan melekat pada orang-orang Sunda yang benar-benar Nyunda, dan tentu, pelesetan tersebut akan terasa menyinggung, melecehkan, dan menghina jati dirinya.

    Sampurasun, adalah salam atau sapaan yang biasa diucapkan oleh sesama orang Sunda ketika bertemu, salam itu biasa dijawab dengan kata "Rampes", dimana ketika mengucapkan kata tersebut, biasanya tubuh si pemberi dan penerima salam akan rengkuh, sedikit membungkuk, dan bahkan itu disertai pula dengan telapak tangan yang dirapatkan di depan dada atau muka, semua dimaksudkan sebagai tanda memberi penghormatan pada lawan bicara. Ucapan salam khas Sunda tersebut, biasa dilakukan setelah sebelumnya mengucapkan salam "Assalamua'laikum" bagi mereka orang Sunda yang beragama Islam, baik dalam keseharian, apalagi dalam suasana formal.

    Dari ilustrasi sederhana itu saja bisa dilihat keindahan silaturahmi yang terjalin dalam masyarakat Sunda. Melihat itu, tentu beragam respon pun muncul atas pelesetan yang dianggap sangat gegabah dan teledor itu, karena salam, dalam bahasa apapun termasuk dalam bahasa Sunda, sejatinya memiliki makna universal, yaitu mendoakan tentang kebaikan, keselamatan, dan hal-hal baik lainnya.

    Namun, dari sekian banyak respon yang muncul dapat ditarik satu kesimpulan, sebagai orang Sunda yang pemaaf dan murah senyum, orang Sunda hanya menyayangkan kenapa kata seperti itu bisa terlontar dari seorang "Habib" (apalagi kata tersebut terlontar dalam suasana dakwah), selebihnya, orang Sunda hanya menuntut Habib yang bersangkutan untuk meminta maaf dan menyesali perbuatannya. Adapun jika sampai dilaporkan pada yang berwajib, itu mungkin hanya bonus karena berani mempelesetkan sebuah doa dengan sesuatu yang sangat-sangat berlawanan makna.

    Untuk menjawab pelesetan yang menyakitkan dalam sebuah acara di Kabupaten Purwakarta itu, Bupati Purwakarta H. Dedi Mulyadi SH sebagai Kepala Daerah dimana polemik itu dimulai, segera menjawab dan mengurai, mengenai apa makna dan arti sebenarnya dari kata Sampurasun. Beliau, Dedi Mulyadi, seorang Bupati yang juga merupakan budayawan Sunda itu menjelaskan secara gamblang tentang apa itu Sampurasun melalui tulisan yang diunggahnya di laman Facebooknya. Tulisan yang diunggah tersebut berjudul "Catatan Kecil Makna Sampurasun". Berikut isi dari tulisan tersebut, yang memuat penjelasan tentang Sampurasun ;

    "Catatan Kecil Makna "Sampurasun"
    Sampurasun berasal dari kalimat "sampurna ning ingsuh" yang memiliki makna "sempurnakan diri anda". Kesempurnaan diri adalah tugas kemanusiaan yang meliputi penyempurnaan pandangan, penyempurnaan pendengaran, penyempurnaan penghisapan, penyempurnaan pengucapan yang semuanya bermuara pada kebeningan hati. Pancaran Kebeningan hati akan mewujud sifat kasih sayang hidup manusia maka orang sunda menyebutnya sebagai ajaran Siliwangi, silih asah, silih asih, silih asuh.
    Ketajaman inderawi orang Sunda dalam memaknai sampurasun melahirkan karakter waspada permana tinggal (ceuli kajaga ku runguna, panon kajaga ku awasna, irung kajaga ku angseuna, letah kajaga ku ucapna, yang bermuara pada hate kajaga ku ikhlasna) waspada permana tinggal bukanlah sikap curiga pada seluruh keadaan tetapi merupakan manifestasi dari sosok perilaku Sunda yang deudeuhan welasan, asihan, nulung kanu butuh nalang kanu susah nganteur kanu sieun nyaangan kanu poekeun. Selalu bersikap tolong menolong pada sesama makhluk hidup.
    Sikap ini melahirkan budaya gotong royong yang dilandasi semangat sareundeuk saigel sabobot sapihaeuan, ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salogak, sistem komunalitas yang bermuara pada kesamaan titik penggerak pada sang Maha Tunggal Penguasa Seluruh Kesemestaan.
    Memusatkan seluruh energi kemanusiaan pada KemahaTunggalan Allah Penguasa Alam Semesta melahirkan karakter peng-aku-an dalam diri orang Sunda, hirup ukur sasampeuran, awak ukur sasampayan, sariring riring dumadi sarengkak saparipolah sadaya kersaning Gusti Nu Maha Suci, sifat totalitas ini melahirkan sosok yang bernama Rawayan Jati Ki Sunda.

    Dari tulisan yang mengurai makna di balik kata Sampurasun tersebut, tentu tidak elok jika keluhuran dan falsafah hidup yang terkandung di dalamnya dipelesetkan menjadi sesuatu yang sangat-sangat bertolak belakang, bahkan, jika dihadapkan pada makna positif yang terkandung di dalamnya itu, kata campur racun jelas mengandung unsur sarkasme yang benar-benar melecehkan falsafah hidup orang Sunda.

    Meneladani Semangat Siswa-Siswi IGS Menghijaukan Kembali Kaki Gunung Tampomas

    $
    0
    0
    Bersiap Melawan Alat-alat Berat
    Image By : facebook.com/vhimor.herniawan
    Pada hari Senin 30 November 2015 kemarin, siswa-siswi dari IGS (International Green School) Sumedang mengadakan kegiatan reboisasi di bekas lahan galian pasir yang berada di kaki Gunung Tampomas, tepatnya di Desa Licin, Kecamatan Cimalaka, Sumedang. Sebanyak 85 orang siswa yang didampingi 15 orang guru tutor tampak antusias mengikuti kegiatan yang dilaksanakan dari pukul 09.00 sampai 11.00 tersebut.

    Dalam prakteknya, sekitar 200 pohon ditanam di area bekas galian yang sudah tidak digarap oleh pengusaha. Meskipun awalnya sangat sulit mencari daerah galian yang bisa direboisasi sebagai media pembelajaran untuk siswa, kendala itu akhirnya bisa teratasi ketika pihak desa dan salah satu pengusaha galian mau memfasilitasi. Itu pula yang membuat kegiatan ini unik, karena justru para pekerja di area galian itu C itulah lah yang awalnya tampak kaget melihat kedatangan segerombolan malaikat kecil itu, dikiranya akan ada demo.

    Meski para siswa yang mengikuti kegiatan ini awalnya tampak kaget dan tidak percaya melihat kerusakan alam yang terpampang nyata di hadapan mereka, dengan kebulatan tekad, kerusakan alam itu justru membuat mereka menjadi sangat antusias dan semangat untuk menanam bibit-bibit pohon di lahan yang sudah tidak produktif itu. Cuaca yang panas dan penuh debu, serta sulitnya akses yang harus dilalui untuk mencapai titik tempat bisa dilaksanakannya kegiatan reboisasi itu seolah tidak menjadi penghalang, bahkan mereka melaluinya dengan canda tawa khas anak-anak seusianya.

    Rasa empati mereka pada alam mulai terpancing, ketika wajah-wajah yang masih lugu itu memperlihatkan ekspresi miris melihat alat-alat berat yang seakan tidak henti-hentinya "menguliti" Gunung Tampomas. Rasa sedih di wajah mereka semakin terlihat jelas, melihat kerusakan alam akibat galian Tipe C di kaki gunung itu membuat Tampomas tampak dewol, terluka sangat parah.

    Hebatnya, puluhan alat berat yang lalu lalang dan beroperasi di sekitar mereka itu tidak menjadi penghalang atau menciutkan keberanian mereka. Justru, itu seolah menambah semangat mereka untuk segera ikut turun tangan memperbaiki keadaan dan menjadi sahabat alam yang seutuhnya. Hingga akhirnya, sekitar 200 pohon (yang juga dibantu oleh Dinas Pertanian Sumedang) yang terdiri dari jenis pohon kayu-kayuan seperti Jabon dan Sengon berhasil ditanam di lahan tandus tersebut.

    Menurut salah seorang guru, dari kegiatan yang telah dilaksanakan itu diharapkan anak-anak bisa belajar mengenai dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh galian Tipe C (pasir). Dengan melihat kerusakan yang ditimbulkan dan belajar turun langsung untuk melakukan reboisasi, diharapkan mereka bisa menjadi agen perubahan di masa depan, yang lebih mencintai bumi yang sedang mereka pijak saat ini, hingga akhirnya, diharapkan mereka bisa menularkan semangat yang telah ditanamkan sejak dini itu pada orang-orang lain di sekitarnya.

    Dan tentu masyarakat pun diharapkan bisa melihat, bahwa galian C bukan solusi untuk kemajuan sebuah daerah atau kota, sehingga diharapkan masyarakat pun sadar untuk bisa ikut mengawasi serta berperan aktif mengurangi kerusakan yang diakibatkan galian C di tempat mereka tinggal. Lebih jauh, pemerintah juga diharapkan untuk mengevaluasi secara berkala galian Tipe C yang ada di Sumedang. Yang tak kalah penting, pemerintah juga diharapkan responsiv mereklamasi lahan kritis yang tercipta akibat kegiatan tersebut dan cepat menutup perusahaan galian yang tidak hideng mereklamasi lahan, yang tidak memiliki ijin, atau menyalahi ketentuan dalam melakukan usahanya, seperti misal menyalahi ketentuan kedalaman penggalian pasir yang diperbolehkan.
    Masih Adakah Tampomas Esok Hari?
    Gunung Tampomas, gunung yang namanya dijadikan nama salah satu kapal penumpang milik Pelni (Pelayaran Nasional Indonesia) ini menjadi salah satu landmark Kabupaten Sumedang yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Sumedang dari masa ke masa. Oleh karenanya, banyak cerita tentang Sumedang, baik itu cerita rakyat maupun cerita sejarah Sumedang dengan gunung yang melegenda ini sebagai latar ceritanya.

    Dalam sajak di sebuah buku tentang sejarah Sumedang karangan E. Kosmajadi, yang salah satu baitnya berbunyi "Palasari masa asri, Gunung Kunci jadi saksi, Tampomas nu mawa endah matak sungkan nu rek mulang,", menggambarkan Tampomas mewakili keindahan Sumedang, yang dapat memikat siapa saja yang datang kepadanya. Itu sebabnya, konon orang Sumedang sejauh-jauhnya merantau pasti akan kembali lagi pulang, dan orang rantau yang telah datang ke Sumedang pasti enggan kembali ke kampung halamannya, karena apa? karena daya pikat Sumedang dan kenyamanan alam yang diberikan begitu luar biasa.

    Sayang, karena keserakahan manusia, keindahan Gunung Tampomas perlahan-lahan terkikis dan berganti menjadi lahan kering kerontang di beberapa bagiannya. Kerusakan alam yang terjadi, ibarat bom waktu yang tinggal menunggu kapan akan meledak.

    Bukan mengada-ada, di tahun 2010 saja, galian pasir di kaki-kaki gunung Tampomas sudah ada yang mencapai kedalaman sepuluh meter, lebih dari ketentuan yang telah ditetapkan yaitu delapan meter saja. Setiap harinya tidak kurang dari 220 truk pasir diangkut dari tempat ini. Itu Tahun 2010, dan sekarang sudah tahun 2015, 2015 akhir, melihat fakta itu tentunya terbayang di benak kita seperti apa kerusakan Gunung Tampomas ini sekarang. Tidak heran hawa di sekitar kaki Gunung Tampomas, seperti di Cimalaka dan Paseh yang dulu terkenal sangat sejuk, sekarang berubah menjadi panas dan gersang.

    Menurut admin pribadi dan admin yakin teman-teman juga berpendapat sama, kegiatan galian C di manapun akan terasa lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya untuk warga dan lingkungan tempat galian itu berada. Namun demikian, kita tentu tetap mengapresiasi pengusaha galian yang mau menghijaukan kembali bekas lahan garapannya, meski itu tetap tidak seimbang dengan kerusakan yang ditimbulkan, alam yang sudah rusak karena eksploitasi tetap tidak akan pernah kembali seperti semula.

    Memang, di Sumedang ada beberapa pengusaha tambang yang dengan suka rela mereklamasi lahan bekas galian pasir mereka seperti di Desa Licin dan Kojengkang, tapi, tidak sedikit pula pengusaha galian yang lari dari tanggung jawab itu. Bahkan, dari beberapa sumber berita admin membaca, ada pengusaha galian yang berbulan-bulan sama sekali tidak membayar pajak dan retribusi pada kas daerah, ada pula pengusaha galian yang tanpa izin membuka lahan galian di kaki Gunung Tampomas ini. Mereka pengusaha yang lari dari tanggung jawab dan tidak menunaikan kewajibannya tersebut, mungkin benar-benar bisa dicap sebagai perusak alam yang sesungguhnya, yang hanya mau untung saja, sementara masyarakat sekitar hanya dapat debu dan udara panasnya.

    Mereka, para pengusaha tambang yang bertindak seperti itu, tentu harus bisa meneladani semangat para siswa di atas, yang dengan sukarela, dengan senang hati, berpanas-panasan berusaha memberikan sumbangsih tenaganya untuk menghijaukan kembali bumi mereka. Padahal, sejatinya mereka adalah korbannya, mereka yang sejak lahir tiba-tiba disuguhi keadaan alam yang rusak, tanpa pernah merasakan sejuknya udara di daerah itu di masa lalu, dan tidak pernah pula mendapat keuntungan dari kegiatan gali menggali tersebut.
    Salah Satu Usaha Reklamasi Lahan Oleh Pengusaha Tambang Pasir

    Curug Cipongkor, Potensi Wisata Di Desa Ciherang

    $
    0
    0
    Curug Cipongkor Di Musim Kemarau
    Image By :
    instagram @dillajanisaraihana
    Curug Cipongkor Di Musim Penghujan
    Image By : 
    claudialatasha.blogspot.com
    Curug Cipongkor, merupakan salah satu air terjun di Sumedang yang namanya sudah cukup familiar di kalangan para pecinta alam dan air terjun di Sumedang dan sekitarnya. Namun, meski Curug Cipongkor sudah cukup familiar sebagai salah satu objek wisata air terjun di Sumedang, curug yang berada di Desa Ciherang, Kecamatan Sumedang Selatan ini masih terhitung jarang dikunjungi. Itu karena, akses jalan yang harus dilalui untuk mencapai curug ini bisa dibilang cukup sulit dan memerlukan energi lebih untuk menaklukannya. Namun bagi sobat yang biasa jarambah, tentunya akan tertantang untuk menaklukkan medan jalan yang sulit itu.

    Berhubung belum dikelola dengan baik dan sama sekali belum dipromosikan sebagai tempat wisata, jangan harap ada penunjuk jalan untuk menuju ke tempat curug tunggal ini berada. Karena itu pula lah, mereka yang berkunjung ke curug ini sama sekali tidak dikenakan biaya retribusi karena memang curugnya belum dikelola secara serius. Untuk menghindari terjatuh atau cidera selama di perjalanan, pakailah sepatu yang bisa mencengkram tanah dengan baik jika akan jajarambahan ke curug ini. Dan tidak lupa, bawalah juga perbekalan, minimal air minum karena perjalanan akan cukup melelahkan.

    Meski tidak ada penunjuk jalan, sobat jangan khawatir, bagi sobat yang tertarik untuk berkunjung, tempat pertama yang bisa dijadikan patokan untuk menuju curug yang mempunyai tinggi sekitar 30 meter ini adalah SPBU Ciherang, yang berada tidak jauh dari gapura selamat datang Sumedang di jalan raya Bandung - Sumedang. Gapura ini akan terlewati jika sobat melakukan perjalanan dari Sumedang menuju Bandung, dan juga sebaliknya.

    Di seberang jalan dari SPBU tersebut ada sebuah warung sederhana yang menjual kopi, gorengan, dan berbagai makanan kecil, warung ini lah yang sebenarnya menjadi patokan dan menjadi titik awal pemberangkatan. Karena dari situ, sobat harus bersiap menempuh perjalanan sekitar 3 kilometer dengan berjalan kaki untuk menuju tempat air terjun ini berada. 

    Di dekat warung yang juga berdekatan dengan toko oleh-oleh khas Sumedang itu, ada sebuah jalan kecil yang sudah ditembok, jalan itu menjadi track pertama yang akan sobat lalui jika akan mengunjungi curug ini. Bagi sobat yang membawa sepeda motor, sobat masih bisa mengendarainya di jalan yang menanjak tersebut sampai titik paling atas, motor bisa terus dipakai sampai jalan tembok itu berakhir dan menemukan tempat untuk parkir/menitipkan motor di atas.

    Tapi berhubung jalan tersebut tidak terlalu lebar dan sangat menanjak, pastikan sobat bisa menjaga keseimbangan ketika melewatinya. Setelah sampai di atas dan motor sudah diparkir, dari rumah paling atas yang paling akhir kita jumpai, sobat tinggal lurus saja melewati pesawahan dan kebun tembakau untuk sampai ke Curug Cipongkor.

    Hanya saja, walau jalur nya relatif tidak membingungkan, admin sarankan banyak-banyaklah bertanya pada penduduk yang ditemui jika baru petama kali mengunjungi curug ini. Jika kita sudah sampai di pesawahan paling atas dan melihat tebing yang cukup curam dengan bebatuan yang banyak, berarti kita sudah hampir sampai. Dari situ, kita harus berjalan lagi sekitar 200 meter dengan jalan yang cukup curam dan becek.

    Bagi sobat yang tidak biasa berpetualang atau jajarambahan, tentunya perjalanan menuju curug ini akan terasa sangat melelahkan, dan sebotol air minum yang sobat bawa akan terasa berlipat nikmatnya ketika diminum di tempat curug ini berada. Berhubung kolam air yang tercipta dari curahan air terjun tersebut seringnya kotor dan berlumpur, disarankan untuk tidak main air di lokasi, cukup memandangi keindahan dari ketinggian dan derasn air terjunnya saja.

    Mudah-mudahan kedepan, Curug Cipongkor yang merupakan potensi wisata berupa air terjun tunggal dengan ketinggian sekitar 30 meter ini bisa dimaksimalkan menjadi tempat wisata, dengan dibuatkan akses jalan yang mudah, dan ditata area sekitarnya sehingga menjadi bersih dan indah seperti di Curug Gorobog atau Curug Ciputrawangi.

    Kecamatan Situraja, Kabupaten Sumedang

    $
    0
    0
    Pemandangan di Salah Satu Sudut Desa Bangbayang, Kecamatan Situraja
    Image By : instagram @hhaasan
    Situraja adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Pusat Kecamatan Situraja terletak 14 kilometer ke arah timur dari ibu kota Kabupaten Sumedang. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Ganeas dan Kecamatan Cisarua di Barat, Kecamatan Paseh di Utara, Kecamatan Cisitu dan Kecamatan Tomo di Timur, Kecamatan Sumedang Selatan di Barat Daya, serta Kecamatan Cibugel di Selatan. Jalan utama yang melewati Kecamatan Situraja adalah Jln. Rd. Umar Wirahadikusumah, mulai dari KM 10 sampai dengan KM 18.

    Yang menarik adalah terdapat beberapa tokoh penting yang merupakan asli keturunan Situraja, diantaranya adalah Rd. Umar Wirahadikusumah (mantan Wapres RI Ke-4), RHA Wiriadinata (mantan Wagub DKI Jakarta 1967-1977), Popong Otje Djundjunan (anggota DPR RI), serta Dra. Ir. Hj. Eni Sumarni, M.Kes (anggota DPD RI).

    Untuk potensi ekonomi, Kecamatan Situraja mempunyai beberapa hal yang bisa diandalkan. Beberapa diantaranya adalah Desa Sukatali sebagai sentra produksi buah sawo di Sumedang, Desa Situraja Utara dan Desa Ambit sebagai lahan penanaman kacang tanah Situraja DM1, yang merupakan varietas unggul, terbukti dengan adanya kerja sama dengan PT. Garuda Food, Desa Cijati dan Desa Bangbayang sebagai penghasil sapu ijuk dan sapu uyun , Desa Bangbayang sebagai penghasil gula aren, serta Desa Cikadu dengan potensi perikanannya dan industri rumahan berupa pembuatan makanan ringan opak dan kolontong.

    Dalam hal seni budaya, Kecamatan Situraja memiliki kesenian khas, yaitu seni umbul, seni reak, bangreng, dan yang lainnya. Untuk mendukung program "Sumedang Puseur Budaya Sunda" (Sumedang Pusat Budaya Sunda), beberapa seniman bersama warga Kecamatan Situraja berhasil memecahkan rekor MURI untuk peserta tari umbul terbanyak, yaitu sebanyak 2012 orang pada tanggal 20 Mei 2012, yang diklaim sebagai "Hari Kebangkitan Umbul Situraja", yang tentunya bertepatan juga dengan "Hari Kebangkitan Nasional". Di Desa Situraja juga terdapat Padepokan Sunda Mekar, yang mempunyai kegiatan rutin dalam melestarikan budaya Sunda.

    Atas segala potensi yang dimilikinya, Kecamatan Situraja termasuk Kecamatan Tipe A di Kabupaten Sumedang. Kecamatan Situraja saat ini tengah berbenah untuk menjadikan Kecamatan Situraja sebagai kecamatan terbaik di Kabupaten Sumedang. Hal ini bukannya tidak mungkin, karena wilayah Situraja merupakan wilayah penyangga Waduk Jatigede. Seiring dengan visi "Situraja Raharja", semakin banyak kemajuan yang dirasakan oleh warganya. Di Kecamatan Situraja menurut data BPS pada tahun 2010 terdapat lima desa dengan kategori Desa Perkotaan yang memungkinkan statusnya berubah dari desa menjadi kelurahan, diantaranya Desa Situraja, Desa Situraja Utara, Desa Mekarmulya, Desa Malaka, dan Desa Jatimekar. Pada tahun 2014 ini Kecamatan Situraja merayakan hari jadinya yang ke-104.

    *dicopas dari : Wikipedia - Situraja

    Foto di atas Merupakan salah satu pemandangan di Desa Bangbayang, Kecamatan Situraja. Adapun desa-desa lainnya yang berada di lingkup Kecamatan Situraja (Kode Pos 45371) adalah ;

    - Desa Ambit
    - Desa Bangbayang
    - Desa Cijati
    - Desa Cijeler
    - Desa Cikadu
    - Desa Jatimekar
    - Desa Kaduwulung
    - Desa Karangheuleut
    - Desa Malaka
    - Desa Mekarmulya
    - Desa Situraja
    - Desa Situraja Utara
    - Desa Sukatali
    - Desa Wanakerta

    Pembangunan Bundaran Polres Sumedang

    $
    0
    0
    Bundaran Polres Sumedang
    Bundaran Polres Sumedang Dalam Tahap Pembangunan
    Image By :
    instagram @mridwanhakim06227
    Bundaran Polres Sumedang (BPS), merupakan sebuah bundaran yang dibangun di lahan seluas 7.836 meter persegi di pusat kota Sumedang. Lahan seluas itu meliputi 35 bidang tanah, masing-masing milik masyarakat 27 bidang, instansi 7 bidang dan yayasan 1 bidang. Bundaran yang dibangun sejak bulan September 2014 ini sampai sekarang masih dalam proses pengerjaan dan direncanakan tuntas akhir tahun 2015.

    Nantinya, BPS akan berfungsi mengurai kemacetan di kawasan Sumedang kota, karena tempat BPS dibangun berada di pertemuan empat ruas jalan nasional dan kabupaten. Keempat ruas jalan tersebut, terdiri dari dua ruas jalan nasional yakni jalan Pangeran Kornel dan jalan Prabu Gajah Agung/Bypass, serta dua ruas jalan kabupaten yakni jalan Prabu Geusan Ulun dan jalan Cut Nyak Dhien. Diharapkan dengan adanya BPS ini, arus lalu lintas akan lebih teratur karena pengendara akan lebih leluasa untuk bermanuver.

    Bundaran ini dinamakan bundaran Polres karena berada di dekat bekas kantor Polres Sumedang, adapun kantor Polres Sumedang saat ini sudah dipindahkan ke daerah Karapyak, dekat dengan kantor Induk Pusat Pemerintahan Sumedang. Maka dari itu, banyak usulan agar kedepan nama bundaran ini diganti, misal menjadi bundaran Prabu Geusan Ulun. Sebab, bundaran itu merupakan pintu gerbang dan etalase memasuki kawasan perkotaan Sumedang melewati jalan protokol Jalan Prabu Geusan Ulun.

    Sejarah ITB Jatinangor

    $
    0
    0
    Salah Satu Sudut Kampus ITB Jatinangor, Sumedang
    Image By : instagram @kyunheo
    Sejarah ITB Jatinangor - Pada tanggal 3 Juli 1920, pemerintah Belanda secara resmi mendirikan Pendidikan Tinggi Teknik pertama di Indonesia yang disebut sebagai Techniche Hoogeschool te Bandung (TH) . TH yang terletak di Jalan Ganesha – Bandung,  pada saat itu hanya memiliki satu fakultas teknik saja yaitu :  de Faculteit van Technische Wetenschap dan hanya mempunyai satu jurusan de afdeeling der Weg en Waterbouw. 

    Pasang-surut TH telah beberapa kali berganti nama dan pengelola mengikuti dinamika sejarah Bangsa Indonesia, yang beralih di bawah kekuasaan penjajahan Belanda yang kemudian di bawah penjajahan Jepang. Setelah sempat bernaung di bawah payung Universitas Indonesia, pada tanggal 2 Maret 1959 , dua Fakultas, yaitu : Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam secara resmi ditetapkan Pemerintah Indonesia sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB). 

    Kini, kampus ITB yang berlokasi di Jl. Ganesha 10 diatas lahan seluas 29 hektar telah memiliki sebanyak 12 Fakultas dan Sekolah dan 1 Sekolah Pasca Sarjana dengan  50 buah program Studi S1. Sebanyak 1200 Dosen dan 1500 karyawan melayani pendidikan bagi para mahasiswa ITB kini telah mencapai angka 23.000.

    Kampus Ganesha (on G Campus) dengan kapasitas semestinya hanya 15.000 menjadi terasa sangat padat dan tidak mendukung berbagai kegiatan tri darmanya. Untuk menuju arah tersebut diperlukan fasilitas dan sarana prasarana yang mendukung dan kondusif dengan Perencanaan dan pengembangan fisik dan nonfisik yang terintegrasi secara holistik. Maka diperlukan suatu organisasi khusus yang membuat pedoman arah pengembangan kampus yang sekaligus berfungsi sebagai pengendali terhadap proses pengembangan tersebut agar pembangunan ITB mendatang dapat diarahkan untuk saling terintegrasi dan saling mendukung sesuai dengan visi ITB.

    Berdasarkan Keputusan Rektor Institut Teknologi Bandung Nomor 147/SK/K01/2010, pada tanggal 21 April 2010 dibentuklah Direktorat Pengembangan ITB di bawah koordinasi Wakil Rektor bidang Keuangan, Perencanaan dan Pengembangan sebagai organisasi yang ditugaskan untuk menyelaraskan dan mengkoordinasikan pengembangan Kampus secara fisik maupun non fisik.

    Beberapa pengembangan yang sedang dan akan dilakukan berangkat dari arah dan tujuan jangka panjang ITB menuju tercapainya Visi dan Misi ITB yang tertuang dalam Rencana Induk Pengembangan (RENIP) ITB 2025. Untuk itu perlu ditetapkan fungsi dan peran Kampus ITB masa depan sebagai perwujudan multikampus ITB yang berdaya dan berprestasi pada dinamika tantangan ITB pada masa yang akan datang.

    Gagasan mengembangkan ITB multi kampus mendapat kesempatan emas pada tanggal 31 Desember 2010 dengan ditanda-tanganinya perjanjian kerjasama ITB dengan Pemerintah Propinsi Jawa Barat Nomor: 073/02/otdaksm/2010, untuk pengelolaan lahan pendidikan yang terletak di Jatinangor dan di Tanjungsari, Kabupaten Sumedang.

    Kampus ITB Jatinangor sebagai off G Campus pertama ini berada diatas lahan seluas 46 hektar direncanakan untuk pusat pengembangan keunggulan life sciences. Sedangkan off G Campus kedua, yang terletak di daerah Delta Mas , Kabupaten Bekasi direncanakan sebagai pusat pengembangan keunggulan industri-manufaktur.

    Pengembangan ITB jatinangor  telah mendapat persetujuan dari 4 Pilar ITB (Majelis Wali Amanat, Senat Akademik, Majelis Guru Besar, Rektor). Pengembangan ini memiliki Keselarasan Program Pengembangan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam hal pengembangan di bidang Pangan, Kesehatan, Energi, Industri, Water Resources,juga transportasi dan lingkungan.

    Pengembangan ITB Jatinangor ini sesuai dengan landasan pengembangan ITB, antara lain:

    Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (Triple Track Strategy : pro growth, pro job, pro poor)
    Rencana Kerja Pembangunan Daerah Jawa Barat
    SK MWA ITB No. 005/2007 tentang Kebijakan Umum Pengembangan ITB 2007-2011.
    SK SA ITB No. 01/2003 tentang Kebijakan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni di ITB.
    Rencana Induk Pengembangan (Renip) ITB 2006-2025
    SK SA ITB no.21/2008 tentang Agenda Akademik ITB 2008-2013
    SK SA ITB no.01/2009 tentang ITB Sebagai Universitas Riset
    SK SA ITB no.46/SK/K01/2008 tentang Norma Pengembangan Multi Kampus ITB
    Selain sesuai dengan landasan pengembangan ITB, pengembangan ITB Jatinangor dilatarbelakangi oleh:

    Pengembangan Pendidikan Tinggi Indonesia yang merupakan bagian dari rencana pembangunan Pemerintah Republik Indonesia,
    Pengembangan Daerah Jawa Barat yang dituangkan dalam Rencana Strategis Pemerintah Daerah Jawa Barat,
    Pengembangan Pendidikan Tinggi dan Rencana Strategis ITB untuk mencapai Visi dan Misi ITB.

    *dicopas dari : Sejarah ITB Jatinangor

    Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang

    $
    0
    0
    Pemandangan di Sekitar Walungan (Sungai) Cileuleuy Kec. Sumedang Selatan
    Image By :
    instagram @herinoz
    Foto di atas merupakan pemandangan di sekitar Walungan Cileuleuy, sebuah sungai yang memisahkan dua desa, yaitu Desa Sukajaya dan Desa Margamekar di Kecamatan Sumedang Selatan. Sungai ini mengalirkan air dari Curug Sabuk, yang merupakan salah satu potensi wisata air terjun di Kabupaten Sumedang.

    Sumedang Selatan, kecamatan yang mempunyai kode pos 45311 - 45315 ini merupakan salah satu kecamatan yang berada di seputaran Sumedang kota. Kecamatan ini merupakan tempat berdirinya sebagian besar kantor pemerintahan Kabupaten Sumedang dan banyak wilayah Pariwisata, mulai dari wisata kuliner, wisata sejarah, hingga wisata alam seperti Benteng Gunung Kunci, Benteng Palasari yang berada di puncak Gunung Palasari, bekas tangsi yang kini menjadi KODIM 0610 Sumedang, Museum Prabu Geusan Ulun, makam Cut NyakDien, dan masih banyak lagi tempat lainnya yang menarik untuk dikunjungi.

    Adapau Desa dan Kelurahan yang terdapat di Kecamatan Sumedang Selatan adalah ;

    - Desa Baginda
    - Desa Ciherang
    - Desa Cipancar
    - Desa Citengah
    - Desa Gunasari
    - Kelurahan Kotakulon
    - Desa Margamekar
    - Kelurahan Regol Wetan
    - Desa Sukagalih
    - Kelurahan Pasanggrahan
    - Desa Sukajaya
    - Kelurahan Cipameungpeuk

    Cerita Rakyat Seputar Kecamatan Situraja

    $
    0
    0
    pemandangan perbatasan citepok situraja
    Pemandangan Air Sungai Berwarna Hijau Dan Bebatuan Mirip Green Canyon
    di Perbatasan Desa Sukatali Situraja & Desa Citepok Paseh. Image By :
    instagram @orestsurya
    Situraja, adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sumedang yang pusat Kecamatannya terletak sekitar 14 kilometer ke arah timur dari ibu kota Kabupaten Sumedang. Kecamatan ini melahirkan beberapa tokoh penting di kancah nasional seperti diantaranya saja Rd. Umar Wirahadikusumah (mantan Wapres RI Ke-4), RHA Wiriadinata (mantan Wagub DKI Jakarta 1967-1977), Popong Otje Djundjunan (anggota DPR RI), serta Dra. Ir. Hj. Eni Sumarni, M.Kes (anggota DPD RI).

    Untuk potensi ekonomi, Kecamatan Situraja mempunyai beberapa unggulan, seperti diantaranya Sawo Sukatali dari Desa Sukatali, serta Desa Situraja Utara dan Desa Ambit sebagai lahan penanaman kacang tanah Situraja DM1, yang merupakan varietas unggul, itu terbukti dengan adanya kerja sama dengan PT. Garuda Food, sementara desa lainnya yaitu Cijati dan Desa Bangbayang sebagai penghasil sapu ijuk dan sapu uyun.  Desa lain yang memiliki potensi diantaranya saja adalah Desa Bangbayang sebagai penghasil gula aren, serta Desa Cikadu dengan potensi perikanannya dan industri rumahan berupa pembuatan makanan ringan opak dan kolontong. (wikipedia)

    Dan seperti daerah-daerah di tanah Sunda pada umumnya dan Sumedang pada khususnya yang memiliki banyak cerita rakyat, demikian pula dengan Kecamatan Situraja ini. Ada beberapa cerita rakyat di kecamatan Situraja yang bahkan salah satu diantaranya berkaitan langsung dengan potensi di kecamatan tersebut seperti cerita rakyat tentang sawo Sukatali. Berikut cerita-cerita rakyat di seputar Kecamatan Situraja.


    Asal Mula Nama Situraja

    Dikisahkan, pada suatu hari, raja di sebuah kerajaan yang berada di Sumedang ingin melakukan kegiatan yang telah digemarinya sejak lama, memancing. Untuk itu, raja tersebut memerintahkan patih-patihnya agar segera menyiapkan danau (situ dalam bahasa Sunda) agar dirinya bisa segera melaksanakan keinginannya.

    Singkat cerita, patih-patihnya itu telah berhasil menyiapkan situ atau danau yang diinginkan raja untuk menyalurkan hobinya. Setelah semuanya siap, raja dan patih-patihnya itu berangkat ke danau yang dimaksud untuk memancing.

    Setelah tiba di lokasi, raja segera melaksanakan keinginannya untuk memancing, patih-patihnya pun ikut dalam kegiatan itu. Tidak lama berselang setelah raja melempar tali kailnya ke arah danau, kail milik raja langsung disambar oleh ikan yang sangat besar, saking besarnya, raja sepertinya tidak kuat menahan tarikan dari si ikan.

    Raja yang mulanya terlihat senang, langsung panik ketika menyadari ikan yanag menyambar tali kailnya itu menarik pancingnya begitu kuat. Sang raja tidak mampu menguasai tarikan ikan itu, bahkan setelah ia dibantu patih-patihnya. Selang beberapa saat saja, raja jatuh dan terseret-seret ke tengah danau, sampai akhirnya ia menghilang di kedalaman danau itu.

    Melihat kejadian yang sangat cepat itu, patih dan dayang-dayangnya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi dan hanya bisa memandangi riak air di danau tempat rajanya tenggelam. Dari situlah, danau tersebut diberi nama Situraja (danau raja), yang sekarang menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Sumedang, Kecamatan Situraja.

    ****

    Cerita Sambal Pamulihan & Mangga Cikubang

    Pada zaman dahulu, dikisahkan daerah Situraja kedatangan seorang tamu yang merupakan pangeran dari sebuah kerajaan di Sumedang, kerajaan Sumedang Larang. Pangeran itu berkunjung dengan maksud melihat secara langsung kehidupan rakyatnya, khususnya melihat kehidupan masyarakat di Kampung Cikubang. Dalam perjalanannya, Pangeran terlebih dahulu singgah di kampung Pamulihan untuk beristirahat.

    Di kampung Pamulihan itu, Pangeran dijamu oleh masyarakat yang sangat menghormatinya. Ketika itu, Pangeran disuguhi sambal dan berbagai lalapan yang sangat disukai orang-orang sunda pada umumnya. Ketika menyantap sambal itu, terlontar perkataan dari mulut sang Pangeran "ini sambalnya enak sekali,". Dan, sampai sekarang, di Sumedang sambal Pamulihan memang dikenal mempunyai rasa yang enak.

    Setelah menerima jamuan tersebut, Pangeran bersama patihnya melanjutkan perjalanan ke kampung yang akan mereka tuju, kampung Cikubang. Sesampainya di kampung Cikubang, Pangeran melihat ada seorang petani sedang berada di sekitar pohon mangga miliknya, dan terjadilah dialog diantara mereka.

    Sang Pangeran bertanya : "Sedang apa pak ?".
    Petani itu menjawab ; "Sedang mengambil mangga,"

    Setelah itu, Pangeran bermaksud ingin menycipi mangga yang sudah dipetik oleh si petani. Tapi, ternyata si petani sama sekali tidak menghormati sang Pangeran yang ada di hadapannya, petani yang dikenal pelit itu menolak permintaan sang Pangeran, ia tidak mengizinkan sang Pangeran untuk menyicipi mangga miliknya.

    Melihat kelakuan petani itu, sang Pangeran tidak marah, ia hanya berkata "Mangga di sini mah, luarnya bagus, tapi di dalamnya banyak ulatnya,". Dan seperti kejadian sebelumnya, ucapan sang pangeran pun menjadi kenyataan, sampai sekarang mangga dari Cikubang Sumedang memang dikenal bagus tampilan luarnya, tapi buahnya memiliki kualitas yang jelek.

     ****

    Di kalangan masyarakat Sunda, ada ungkapan "Saciduh Metu Saucap Nyata" yang artinya kurang lebih apa-apa yang diucapkan akan menjadi kenyataan, biasanya ungkapan ini dialamatkan pada ucapan bangsawan, tokoh-tokoh, ataupun orang-orang yang dianggap soleh atau dituakan yang mempunyai pengaruh kuat di kalangan masyarakat.

    Kejadian demi kejadian dalam cerita tentang sambal pamulihan dan mangga Cikubang di atas, sama persis seperti yang pernah admin ceritakan dalam artikel berjudul Manis Legit Sawo Sukatali, yang juga masih bercerita seputar cerita rakyat di kecamatan Situraja, yang menceritakan sawo sukatali menjadi manis dan memiliki kualitas yang bagus setelah sang pangeran berkata demikian.

    Sejarah Universitas Padjadjaran

    $
    0
    0
    Rektorat Unpad di Jatinangor, Sumedang. Image By :youtube.com
    Universitas Padjadjaran atau dikenal dengan singkatan Unpad merupakan salah satu perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia. Unpad berdiri pada 11 September 1957, dengan lokasi kampus di Bandung. Saat ini, Unpad berstatus sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2014 tentang Penetapan Unpad sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum ditandatangani Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, pada 17 Oktober 2014. Setelah itu, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2015 tentang Statuta Universitas Padjadjaran ditandatangani Presiden RI, Joko Widodo, pada 22 Juli 2015.

    PTN Badan Hukum ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 12 tentang Pendidikan Tinggi. Pada pasal 65 UU tersebut disebutkan, penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi dapat diberikan secara selektif berdasarkan kinerja oleh Menteri kepada PTN. Bentuk otonomi yang dimaksud terdiri dari PTN yang menerapkan pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK BLU) atau PTN Badan Hukum. Unpad telah melaksanakan otonomi PK BLU sejak 15 September 2008, dan kini memperoleh mandat untuk meningkatkan otonomi menjadi PTN Badan Hukum. Kepercayaan pemerintah memberikan mandat kepada Unpad menjadi PTN Badan Hukum merupakan “buah” dari perjuangan panjang para pengelola Unpad  menjaga kualitas serta prestasi para mahasiswanya di tingkat nasional dan internasional.

    Pada tahun 1950-an, di Bandung sebenarnya telah ada perguruan tinggi seperti Fakultas Teknik dan Fakultas MIPA yang merupakan bagian dari Universitas Indonesia (UI) dan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). Namun, masyarakat menghendaki sebuah universitas negeri yang menyelenggarakan pendidikan dari berbagai disiplin ilmu. Perhatian pemerintah daerah dan pemerintah pusat sangat besar terhadap perlu adanya universitas negeri di Bandung, terutama setelah Bandung dipilih sebagai kota penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955.

    Oleh karena itu, pada tanggal 14 Oktober 1956 terbentuklah Panitia Pembentukan Universitas Negeri (PPUN) di Bandung. Pembentukan PPUN tersebut berlangsung di Balai Kotapraja Bandung. Pada rapat kedua tanggal 3 Desember 1956, panitia membentuk delegasi yang terdiri dari Prof. Muh. Yamin, Mr. Soenardi, Mr. Bushar Muhammad, dan beberapa orang tokoh masyarakat Jawa Barat lainnya. Tugas delegasi adalah menyampaikan aspirasi rakyat Jawa Barat tentang pendirian universitas negeri di Bandung kepada Pemerintah, DPR Kabupaten dan Kota Besar Bandung, Gubernur Jawa Barat, Presiden UI, Ketua Parlemen, Menteri PPK, bahkan kepada Presiden Republik Indonesia.

    Delegasi berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga pemerintah melalui SK Menteri PPK No. 11181/S tertanggal 2 Februari 1957, memutuskan membentuk Panitia Negara Pembentukan Universitas Negeri (PNPUN) di Kota Bandung.

    Pada tanggal 25 Agustus 1957 dibentuk Badan Pekerja (BP) dan PNPUN tersebut yang diketuai oleh R. Ipik Gandamana, Gubernur Jawa Barat. BP dibentuk dengan tujuan untuk mempercepat proses kelahiran UN tersebut. Hasil dari BP adalah lahirnya Universitas Padjadjaran (Unpad) pada hari Rabu 11 September 1957, dikukuhkan berdasarkan PP No. 37 Tahun 1957 tertanggal 18 September 1957 (LN RI No. 91 Tahun 1957).

    Kemudian berdasarkan SK Menteri PPK No. 91445/CIII tertanggal 20 September , status dan fungsi BP diubah menjadi Presidium Unpad yang dilantik oleh Presiden RI tanggal 24 September 1957 di kantor Gubernuran Bandung.

    Adapun nama “Padjadjaran” diambil dari nama Kerajaan Sunda, yaitu Kerajaan Padjadjaran yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi atau Prabu Dewantaprana Sri Baduga Maharaja di Pakuan Padjadjaran (1473-1513 M). Nama ini adalah nama yang paling terkenal dan dikenang oleh rakyat Jawa Barat, karena kemashuran sosoknya di antara raja-raja yang ada di tatar Sunda ketika itu.

    Pada saat berdirinya, Unpad terdiri dari 4 fakultas: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Fakultas Ekonomi (keduanya berawal dari Yayasan Universitas Merdeka di Bandung), Fakultas Keguruan & Ilmu Pendidikan (FKIP, penjelmaan dari PTPG di Bandung), dan Fakultas Kedokteran.

    Pada 18 September 1960, dibuka Fakultas Pendidikan Jasmani (FPJ) sebagai perubahan dari Akademi Pendidikan Jasmani. Pada tahun 1963-1964, FPJ dan FKIP melepaskan diri dari Unpad dan masing-masing menjadi Sekolah Tinggi Olah Raga dan Institut Keguruan & Ilmu Pendidikan (IKIP, sekarang Universitas Pendidikan Indonesia).

    Dalam kurun waktu 6 tahun, di lingkungan Unpad bertambah 8 fakultas yakni: Fakultas Sosial Politik (13 Oktober 1958, sekarang FISIP), Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA, 1 November 1958), Fakultas Sastra (1 November 1958, kini menjadi Fakultas Ilmu Budaya), Fakultas Pertanian (Faperta, 1 September 1959), Fakultas Kedokteran Gigi (FKG, 1 September 1959), Fakultas Publisistik (18 September 1960, sekarang menjadi Fikom), Fakultas Psikologi (FPsi, 1 September 1961), dan Fakultas Peternakan (Fapet, 27 Juli 1963).

    Tahun 2005, Unpad membuka 3 fakultas baru Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK, 8 Juni 2005), Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan (FPIK, 7 Juli 2005), dan Fakultas Teknik Industri Pertanian (FTIP, 13 September 2005).

    Selama 2 tahun kemudian, Unpad meningkatkan status 2 jurusan di FMIPA, yaitu Jurusan Farmasi menjadi Fakultas Farmasi  (17 Oktober 2006), serta Jurusan Geologi menjadi Fakultas Teknik Geologi (FTG, 12 Desember 2007).

    Dalam rangka meningkatkan performa universitas, pada 7 September 1982, Unpad membuka Fakultas Pascasarjana. Fakultas ini menyelenggarakan pendidikan jenjang S-2 (Program Magister) dan S-3 (program Doktor). Pada perkembangan selanjutnya, Fakultas Pascasarjana statusnya berubah menjadi Program Pascasarjana. Sebagai upaya memenuhi tenaga-tenaga terampil ahli madya, maka Unpad juga menyelenggarakan pendidikan Program Diploma (S-0) untuk beberapa bidang ilmu.

    Kepemimpinan di Unpad pun mengalami perkembangan, baik para pejabat, struktur, maupun bentuk organisasinya. Kepemimpinan yang pertama berbentuk presidium, dengan ketua R. Ipik. Gandamana, Wakil Ketua R. Djusar Subrata, serta Sekretaris Mr. Soeradi Wikantaatmadja dan R Suradiradja.

    Selanjutnya pad 6 November 1957 diangkat Presiden Unpad yaitu Mr. Iwa Koesoemasoemantri, berdasarkan SK Presiden RI No. 14/M/1957, tertanggal 1 Oktober 1957. Pengambilan sumpah dilakukan di Istana Negara. Dalam pelaksanaan tugasnya, Presiden Unpad didampingi Senat Universitas dengan Sekretaris Prof. M. Sadarjun Siswomartojo, Kusumahatmadja, dan Mr. Bushar Muhammad.

    Sejak 1963, sebutan Presiden Universitas diubah menjadi Rektor dan sebutan Sekretaris Universitas atau Kuasa Presiden diubah menjadi Pembantu Rektor.

    Adapun susunan pejabat Rektor Unpad sejak awal berdirinya hingga sekarang sebagai berikut.:

    1957-1961: Prof. Iwa Koesoemasoemantri, S.H.
    1961-1964: Prof. R. G. Soeria Soemantri, drg.
    1964-1966: Moh. Sanusi Hardjadinata
    1966-1973: Prof. R. S. Soeria Atmadja
    1973-1974: Prof. Dr. Muchtar K., S.H., LL.M.
    1974-1982: Prof. Dr. Hindersah Wiraatmadja
    1982-1990: Prof. Dr. Yuyun Wirasasmita, M.Sc.
    1990-1998: Prof. Dr. H. Maman P. Rukmana
    1998-2007: Prof. Dr. H. A. Himendra Wargahadibrata, dr., Sp.An., KIC
    2007-2015: Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA
    2015 – sekarang: Prof. Dr. med. Tri Hanggono Achmad, dr.

    Sejarah Unpad Kampus Jatinangor

    Terinspirasi oleh “Kota Akademik Tsukuba”, Rektor keenam Unpad, Prof. Dr. Hindersah Wiraatmadja menggagas “Kota Akademis Manglayang”, yang terletak di kawasan kaki Gunung Manglayang.

    Konsep tersebut menjawab permasalahan kampus Unpad yang tersebar di 13 lokasi yang berbeda sehingga menyulitkan koordinasi dan pengembangan daya tampung, selain untuk meningkatkan produktivitas, mutu lulusan, dan pengembangan sarana/prasarana fisik.

    Sejak tahun 1977, Unpad merintis pengadaan lahan yang memadai dan tahun 1979 baru disepakati dengan adanya penunjukkan lahan bekas perkebunan di Jatinangor, Sumedan.

    Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 593/3590/1987, kawasan itu meliputi luas 3.285,5 Hektar, terbagi dalam 7 wilayah peruntukkan. Khusus untuk Unpad, wilayah pengembangan kampus di Jatinangor mencakup 175 h.

    Secara bertahap, Unpad telah mulai memindahkan kegiatan pendidikannya ke Jatinangor sejak 1983, yang diawali oleh Fakultas Pertanian. Kemudian diikuti oleh fakultas-fakultas lainnya yang ada di lingkungan Unpad. Pada 5 Januari 2012, gedung Rektorat Unpad resmi pindah ke Jatinangor, Sumedang.

    *dicopas dari : Sejarah Unpad

    Sejarah IPDN

    $
    0
    0
    Kampus IPDN
    Kampus IPDN. Image By :Fanpage Sumedang Tandang
    Penyelenggaraan pendidikan kader pemerintahan di lingkungan Departemen Dalam Negeri yang terbentuk melalui proses perjalanan sejarah yang panjang. Perintisiannya dimulai sejak zaman pemerintahan  Hindia Belanda pada tahun 1920, dengan terbentuknya sekolah pendidikan Pamong Praja yang  bernama Opleiding School Voor Inlandshe Ambtenaren ( OSVIA ) dan Middlebare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren ( MOSVIA ). Para lulusannya sangat dibutuhkan dan dimanfaatkan  untuk  memperkuat penyelenggaraan pemerintahan Hindia Belanda. Dimasa kedudukan pemerintah Hindia Belanda, penyelenggaraan pemerintahan Hindia  Belanda dibedakan atas pemerintahan yang langsung dipimpin oleh kaum atau golongan pribumi  yaitu  Binnenlands Bestuur Corps  ( BBC ) dan pemerintahan yang tidak langsung  dipimpin oleh kaum atau golongan dari keturunan Inlands Bestuur Corps ( IBC ).        

    Pada masa  awal kemerdekaan RI, sejalan dengan penataan sistem pemerintahan yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar  1945, kebutuhan akan tenaga kader pamong praja untuk melaksnakan tugas-tugas pemerintahan baik pada pemerintah pusat maupun daerah semakin meningkat sejalan dengan tuntutan perkembangan penyelenggaraan pemerintahannya. Untuk memenuhi kebutuhan akan kekurangan tenaga kader pamong praja, maka pada tahun 1948 dibentuklah lembaga pendidikan dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri yaitu Sekolah Menengah Tinggi ( SMT ) Pangreh Praja yang kemudian berganti nama menjadi Sekolah Menengah Pegawai Pemerintahan Administrasi Atas ( SMPAA ) di Jakarta dan Makassar.    

    Pada Tahun 1952, Kementrian Dalam Negeri menyelenggarakan Kursus Dinas C (KDC) di Kota Malang, dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan pegawai golongan DD yang siap pakai dalam melaksanakan tugasnya. Seiring dengan itu, pada tahun 1954 KDC juga diselenggarakan di Aceh, Bandung, Bukittinggi, Pontianak, Makasar, Palangkaraya dan Mataram. Sejalan dengan perkembangan penyelenggaraan pemerintahan yang semakin kompleks, luas dan dinamis, maka pendidikan aparatur di lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan tingkatan kursus dinilai sudah tidak memadai. Berangkat dari kenyataan tersebut, mendorong pemerintah mendirikan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) pada tanggal 17 Maret 1956 di Malang, Jawa Timur. APDN di Malang bersifat APDN Nasional  berdasarkan SK Mendagri No. Pend.1/20/56 tanggal 24 September 1956  yang diresmikan oleh Presiden Soekarno di Malang, dengan Direktur pertama Mr. Raspio Woerjodiningrat. Mahasiswa APDN Nasional Pertama ini adalah lulusan KDC yang direkrut  secara selektif dengan tetap mempertimbangkan keterwakilan asal provinsi selaku   kader pemerintahan   pamong praja yang lulusannya dengan gelar Sarjana Muda ( BA ).

    Pada perkembangan selanjutnya, lulusan APDN  dinilai masih perlu ditingkatkan dalam rangka upaya lebih menjamin terbentuknya kader-kader pemerintahan yang ” qualified leadership  and manager administrative ”, terutama dalam menyelenggarakan tugas-tugas urusan pemerintahan umum. Kebutuhan ini mendorong pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan aparatur di lingkungan Departemen Dalam Negeri  setingkat Sarjana, maka dibentuklah Institut Ilmu Pemerintahan ( IIP ) yang berkedudukan di Kota Malang Jawa Timur berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 8 Tahun 1967, selanjutnya dikukuhkan dengan Keputusan Presiden Nomor 119 Tahun 1967. Peresmian berdirinya IIP di Malang ditandai dengan peresmian oleh Presiden Soekarno pada tanggal 25 Mei 1967.

    Pada tahun 1972  Institut Ilmu Pemerintahan ( IIP) yang berkedudukan di Malang Jawa Timur dipindahkan ke Jakarta melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 94 Tahun 1972. Pada tanggal 9 Maret 1972, kampus IIP yang terletak di Jakarta di resmikan oleh Presiden Soeharto yang dinyatakan : ” Dengan peresmian kampus Institut Ilmu Pemerintahan, mudah-mudahan akan merupakan kawah candradimukanya Departemen Dalam Negeri untuk menggembleng kader-kader pemerintahan yang tangguh bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia ”        

    Seiring dengan pembentukan IIP yang merupakan peningkatan dari APDN Nasional di Malang, maka untuk penyelenggaraan pendidikan kader pada tingkat akademi, Kementrian  Dalam Negeri secara bertahap sampai dengan dekade tahun 1970-an membentuk APDN di 20 Provinsi selain  yang berkedudukan di Malang, juga  di Banda Aceh, Medan, Bukittinggi, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Lampung, Bandung, Semarang, Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Samarinda, Mataram, Kupang, Makassar, Menado, Ambon dan Jayapura.      

    Pada tahun 1988, dengan pertimbangan untuk menjamin terbentuknya wawasan nasional dan pengendalian kualitas pendidikan Menteri Dalam Negeri Rudini  melalui   Keputusan   No. 38 Tahun 1988 Tentang Pembentukan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri Nasional. APDN Nasional kedua  dengan program D III  berkedudukan di Jatinangor, Sumedang Jawa Barat yang peresmiannya dilakukan oleh Mendagri tanggal 18 Agustus 1990. APDN Nasional ditingkatkan statusnya  berdasarkan  Kepres No. 42 Tahun 1992 tentang Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, maka status APDN menjadi STPN dengan program studi D III yang diresmikan oleh Presiden RI pada tanggal 18 Agustus 1992. Sejak tahun 1995, bertititk tolak dari keinginan dan kebutuhan untuk lebih mendorong perkembangan karier sejalan dengan  peningkatan eselonering jabatan dalam sistem kepegawaian Republik Indonesia, maka program studi ditingkatkan menjadi program D IV. Keberadaan  STPDN dengan pendidikan  profesi  ( program    D IV ) dan  IIP yang menyelenggarakan pendidikan  akademik program sarjana  ( Strata I ), menjadikan Departemen Dalam Negeri memiliki dua (2) Pendidikan Pinggi Kedinasan dengan lulusan yang sama dengan golongan III/a.            

    Kebijakan Nasional  mengenai pendidikan tinggi sejak tahun 1999 antara lain yang mengatur bahwa suatu Departemen tidak boleh memiliki dua atau lebih perguruan tinggi dalam menyelenggarakan keilmuan yang sama, maka mendorong Departemen Dalam Negeri untuk mengintegrasikan STPDN ke dalam IIP . Usaha pengintegrasiaan STPDN kedalam IIP secara intensif dan terprogram sejak tahun 2003 sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pengintegrasian terwujud dengan ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP dan sekaligus merubah nama IIP menjadi Institut Ilmu Pemerintahan ( IPDN ). Tujuan penggabungan STPDN ke dalam IIP tersebu, selain untuk memenuhi kebijakan pendidikan nasional juga untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pendidikan kader pamong praja di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Kemudian Kepres No. 87 Tahun 2004 ditindak lanjuti  dengan Keputusan Mendagri No. 892.22-421 tahun 2005 tentang Pelaksanaan Penggabungan dan Operasional Institut Pemerintahan Dalam Negeri, disertai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja IPDN dan   Peraturan Menteri Dalam Negeri 43 Tahun 2005  Tentang Statuta IPDN serta peraturan pelaksanaan lainnya.        
    kampus IPDN
    Kampus IPDN Pusat di Jatinangor, Sumedang. Image By :beritatrans.com
    Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri ke dalam Institut Ilmu Pemerintahan menjadi IPDN, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 Tahun 2009 tentang Statuta Institut Pemerintahan Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Bahwa IPDN merupakan salah satu komponen di lingkungan Kementerian Dalam Negeri yang melaksanakan tugas menyelenggarakan pendidikan tinggi kepamongprajaan. Sejalan dengan tugas dan fungsi melaksanakan pendidikan tinggi kepamongprajaan serta dengan mempertimbangkan tantangan, peluang dan pilihan-pilihan strategik yang akan dihadapi dalam lima tahun kedepan, Renstra IPDN 2010-2014 disusun dengan memperhatikan pencapaian program dan kegiatan yang dilakukan agenda pembangunan pada lima tahun terakhir (2005­2009), serta kondisi internal dan dinamika ekternal lingkup IPDN.

    Presiden Republik Indonesia pada tanggal 9 April 2007 mengeluarkan kebijakan dengan menetapkan 6 (enam) langkah pembenahan yang segera dilakukan untuk membangun budaya organisasi yang barn bagi IPDN. Kebijakan Presiden memperoleh dukungan dad DPR-RI.

    Untuk melaksanakan kebijakan pembenahan, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan serangkaian kebijakan yaitu:

    1. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembenahan IPDN;
    2. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 890.05-506 Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Implementasi Pendidikan Kader Pemerintahan

    Pada tahap selanjutnya, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri Ke Dalam Institut Ilmu Pemerintahan menjadi IPDN mengamanatkan penataan sistem pendidikan tinggi kepamongprajaan meliputi jenis pendidikan, pola pendidikan, kurikulum, organisasi penyelenggara pendidikan, tenaga kependidikan dan peserta didik serta pembiayaan. Pendidikan tinggi kepamongprajaan selain diselenggarakan di Kampus IPDN Pusat Jatinangor, Sumedang, serta Kampus IPDN di Cilandak Jakarta, juga diselenggarakan di Kampus IPDN Daerah yang menyelenggarakan program studi tertentu sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

    Untuk memenuhi persyaratan menjadi Institut, di IPDN telah dibentuk 2 (dua) Fakultas yaitu Fakultas Politik Pemerintahan yang terdiri dari 2 (dua) jurusan yaitu jurusan Kebijakan Pemerintahan dan Jurusan Pemberdayaan Masyarakat; Fakultas Manajemen Pemerintahan yang terdiri dari 4 (empat) jurusan yaitu Jurusan Manajemen Sumber Daya Aparatur, Jurusan Pembangunan Daerah, Jurusan Keuangan Daerah, dan Jurusan Kependudukan dan Catatan Sipil.

    Kampus IPDN di daerah tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja IPDN ditetapkan: Kampus IPDN Manado, Kampus IPDN Kampus Makassar, Kampus IPDN Pekanbaru, dan Kampus IPDN Bukittinggi, yang selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 892.1­829 Tahun 2009 ditetapkan lokasi pembangunan kampus IPDN di daerah yaitu: di Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara, di Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan, di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau, dan di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat, serta pada saat ini sedang dipersiapkan pengembangan Kampus IPDN di Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat, Kampus IPDN di Mataram diProvinsi Nusa Tenggara Barat dan Kampus IPDN di Jayapura Provinsi Papua.

    Kampus IPDN di daerah sejak tahun 2009 telah melaksanakan operasional pendidikan dengan kapasitas Praja 100 Praja setiap kampus dengan penetapan Jurusan/Program Studi yaitu: pertama, Kampus IPDN di Kab. Agam menyelenggarakan Program Studi Keuangan Daerah, Kampus IPDN di Kab. Rokan Hilir menyelenggarakan program studi pembangunan daerah, Kampus IPDN di Kab. Gowa menyelenggarakan Program Studi Pemberdayaan Masyarakat, sedangkan kampus IPDN di Minahasa direncanakan menyelenggarakan Program Studi Kependudukan dan Catatan Sipil.

    Mulai tahun 2010 kebijakan Pendidikan Kepamongprajaan dikonsentrasikan pada Program Diploma IV (D-IV) pada se­mester I, II, 111, IV, V dan VI setelah masuk semester VI I dan VIII dilaksanakan penjurusan dan pengalihan ke Program Strata Satu (S-1). Pada Kampus IPDN di Cilandak Jakarta diselenggarakan Program Pascasarjana Strata Dua (S-2) dan Strata Tiga (S-3), program profesi kepamongprajaan serta kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat.

     *dicopas dari : Sejarah IPDN

    Menjelang Senja Di Gunung Karang

    $
    0
    0
    Gunung Karang. Image By :instagram @adena_ture
    Di Sumedang, Gunung Karang merupakan salah satu gunung yang relatif mudah didaki oleh para pegiat alam atau wisatawan minat khusus. Itu karena, gunung yang hanya berketinggian 1.200 meter ini bisa dikatakan lebih mudah dijajal ketimbang gunung-gunung lainnya yang ada di Sumedang, Gunung Tampomas atau Kareumbi misalnya. Dengan mendaki gunung ini, kita bisa menikmati sensasi yang sama dengan mendaki gunung-gunung besar, untuk melihat keindahan dan keunikan alam Sumedang yang seolah tiada habisnya.

    Namun meski relatif mudah ditaklukkan, bukan berarti gunung ini biasa-biasa saja. Ya, Gunung Karang ini mempunyai vegetasi hutan yang beragam karena masih satu bentangan dengan Gunung Tampomas, itu pula yang menyebabkan gunung ini seringkali disebut sebagai anak Tampomas atau puncak palsu Tampomas. Fauna yang hidup di gunung ini juga sangat beragam, di sini banyak terdapat banyak binatang asli Tampomas, seperti monyet, lutung, burung pancawarna, dan burung anis. Beberapa binatang mamalia dan reptil lainnya juga masih ada di kawasan ini.

    Jika sobat berminat datang ke tempat ini, sobat tidak akan terlalu kesulitan, apalagi bagi sobat yang pernah melihat galian pasir di Cibeureum pasti sudah sedikit punya gambaran tentang jalannya. Ya, rute jalan menuju Gunung Karang Sumedang bisa ditempuh dari situ. Setelah melewati Galian C di Cibeureum, Kecamatan Cimalaka, maka akan ada hutan pinus, dari situ sobat tinggal menuju arah utara dan langsung akan menemukan jalan setapak menuju Gunung Karang. Dari situ, hanya butuh waktu 1 jam untuk sampai ke puncak dan bersiap menapaki jalur boulder atau batu besar yang memang menjadi salah satu daya tarik Gunung Karang ini.

    SMAN 1 Sumedang, Santai, Serius, Sukses

    $
    0
    0
    SMAN 1 Sumedang
    SMAN 1 Sumedang. Image By : instagram @afuuristagram12
    SMA Negeri (SMAN) 1 Sumedang, sekolah menengah atas yang berada tepat di pusat kota Sumedang ini tercatat mulai berdiri sejak awal-awal masa revolusi di Indonesia. Ya, SMA yang menyandang predikat sebagai sekolah lanjutan tingkat atas pertama di Kabupaten Sumedang ini didirikan pada tanggal 1 Agustus 1958.

    Tidak hanya itu saja, ternyata sekolah ini juga tercatat sebagai sekolah lanjutan tingkat atas ketujuh yang didirikan di Jawa Barat, dan menjadi yang ke kedua puluh tujuh di negara Indonesia pada saat itu. Oleh karenanya, tidak heran jika banyak tokoh yang dikenal sekarang, mulai dari politikus sampai artis asal Sumedang, merupakan alumni dari SMA ini

    Karena itu, tidak heran jika sekolah ini menjadi salah satu sekolah lanjutan favorit di Sumedang, ibarat pepatah tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi, begitu pula dengan sekolah ini, rentang umurnya yang lebih tua dari sekolah lanjutan tingkat atas lainnya di Sumedang menjadikannya punya daya tarik tersendiri. Banyak siswa-siswi lulusan sekolah menengah pertama yang berlomba-lomba masuk ke sekolah ini.

    Sama seperti SMA pada umumnya di Indonesia, masa pendidikan sekolah di SMAN 1 Sumedang ditempuh dalam waktu tiga tahun pelajaran untuk kelas reguler, dan dua tahun untuk kelas akselerasi, mulai dari Kelas X sampai Kelas XII. Dari tahun ke tahun, meski dengan luas lahan yang relatif terbatas, SMA ini terus berusaha meningkatkan kualitasnya dari berbagai segi.

    Fasilitas yang tersedia di sekolah ini antara lain adalah Laboratorium Biologi, Laboratorium Fisika, Laboratorium Kimia, Laboratorium Komputer, dan Laboratorium Bahasa. Sedangkan ekstrakulikulernya antara lain adalah Karate, Boxer, Taekwondo, Sepak Bola, Futsal, Basket, Pramuka (ASDS), Paskibra, DKM (Dewan Kemakmuran Mesjid), KIR ADINIRA (Kelompok Ilmiah Remaja), dan PADUS ADINIRA (Paduan Suara).

    Bagi para alumni, pasti tidak akan pernah lupa moto belajar di sekolah ini yaitu Santai, Serius, Sukses. Moto tersebut juga terselip dalam Mars SMAN 1 Sumedang yang seringkali dinyanyikan dalam berbagai moment atau event yang diadakan di sekolah. Berikut Mars SMAN 1 Sumedang/SMANSA ;

    Wahai pemuda, wahai pemudi
    Siswa SMAN 1
    Kita selaku generasi muda
    Generasi penerus
    Berat pertanggung-jawaban kita
    Sepanjang masa
    Marilah kita giat bekerja
    Untuk nusa bangsa
    Aturlah waktu untuk belajar
    Santai, Serius, Sukses
    SMAN 1 Sumedang
    Graha Adinira SMAN 1 Sumedang. Image By :plimbi.com

    Sirah Cilembang, Danau Biru di Desa Hariang

    $
    0
    0
    Sirah Cilembang
    Sirah Cilembang Mulai Ramai Didatangi Pengunjung. Image By :instagram @danissasha
    Beberapa hari belakangan ini, Sumedang sedang dihebohkan oleh keberadaan tempat wisata alternatif yang bisa dibilang lain daripada yang lain. Sirah (mata air) Cilembang, adalah tempat yang dimaksud. Sirah Cilembang disebut lain daripada yang lain karena memiliki keunikan tersendiri, keunikan yang dimaksud adalah airnya berwarna biru, biru tosca tepatnya.

    Karena keunikannya itulah, mata air yang berada di Dusun Curug, Desa Hariang, Kecamatan Buahdua ini sekarang begitu ramai dikunjungi, admin pribadi melihat pengunjung datang terus menerus, silih berganti melihat keunikan warna air di mata air itu.

    Menurut pengakuan salah seorang narasumber, Rijal, pengunjung yang datang bisa mencapai ratusan orang setiap harinya. Dikatakannya, pengunjung tidak pernah berhenti berdatangan dari pagi hingga petang. Pemuda yang juga bertindak sebagai salah satu penjaga di tempat wisata itu mengatakan, sudah sekitar satu mingguan tempat itu menjadi ramai dan dikunjungi banyak orang. Itu terjadi setelah sebelumnya ada seorang warga yang mengupload foto mata air itu ke jejaring sosial facebook.

    “Dulunya mah tidak seramai ini, justru malah sebaliknya, sangat sepi dan agak angker,” ujar Rijal pada admin WS.

    Rijal mengatakan, mata air yang di luar Desa Hariang tenar dengan sebutan danau biru atau cai biru itu ramai dikunjungi pengunjung karena didorong rasa penasaran calon pengunjung yang bersangkutan. Bahkan menurut salah seorang pengunjung, Uday, tempat itu sekarang mendadak terkenal sampai ke Bandung. Banyak yang penasaran ingin datang ke tempat itu.

    “Kemarin waktu duduk-duduk di sekitar rumah, ada seorang pengendara mobil yang bertanya di mana itu Sirah Cilembang. Katanya dia orang Bandung dan tau tempat itu dari media sosial. Mereka penasaran dengan airnya yang berwarna biru.” Jelas Uday.
    Sirah Cilembang Sebelum Ramai Pengunjung. Image By :instagram @egino_agustiano
    Lalu darimana warna biru pada air itu berasal? Rijal, sang penjaga tempat wisata itu menuturkan, warna biru itu tidak berasal dari mana-mana, karena memang sebetulnya airnya tidak berwarna biru. Jika diambil memakai ember atau lainnya, airnya akan terlihat jernih seperti biasa, tidak ada warna biru pada air itu.

    Ada kemungkinan, warna biru yang terlihat pada permukaan air itu muncul karena beberapa faktor, diantaranya saja airnya yang sangat jernih dengan pasir di dasar kolamnya, ditambah kedalamannya yang mencapai kurang lebih tiga meter.

    “Jadi ketika mendapat sinar matahari dari sudut yang pas, itu akan memunculkan warna biru,” jelas Rijal.

    Karenanya, meskipun air  di tempat itu seolah memiliki warna, airnya tetap aman seperti air dari mata air-mata air lainnya, itu terbukti dengan banyaknya ikan di kolam yang terbentuk dari mata air tersebut. Ikan yang hidup di tempat itu antara lain adalah sengol, nilem, beunteur (wader), bahkan sampai kura-kura juga ada.

    Bukti lain bahwa air dari tempat itu aman untuk dikonsumsi dan dipergunakan untuk keperluan sehari-hari adalah, air dari tempat itu dimanfaatkan oleh Pamsimas sebagai salah satu sumber air baku, airnya didistribusikan ke rumah-rumah penduduk di sekitarnya, bahkan sampai ke desa tetangga. Karena itulah, terdapat larangan tidak boleh berenang di kolam air yang terbentuk dari mata air itu, takutnya air yang dikonsumsi oleh penduduk menjadi tercemar.
    Dilarang Berenang Di Sirah Cilembang. Image By : instagram welcome_sumedang
    Tapi bagi yang keukeuh ingin berenang, ada kolam lain di sekitaran Sirah Cilembang itu yang bisa dipakai untuk berenang, kolam air yang boleh dipergunakan untuk berenang itu seringkali disebut dengan Beuteung Cilembang.

    Tidak dipungut biaya untuk memasuki tempat wisata ini, alias gratis !! hanya saja semenjak ramai dikunjungi, kawasan ini langsung dikelola oleh Karang Taruna setempat dengan menerapkan retribusi parkir kendaraan. Dengan biaya parkir sebesar Rp. 2000, pendapatan yang dikantongi dan selanjutnya akan dikembalikan untuk membenahi kawasan tersebut setiap harinya bisa mencapai Rp.700.000, sedangkan para pedagang dadakan yang bermunculan di tempat itu bisa mengantongi omset sebesar Rp.300.000 per harinya.

    Melihat animo pengunjung yang berdatangan selama seminggu ini, tentu mata air ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi objek wisata andalan Desa Hariang. Karena itu, pengunjung berharap akses menuju tempat ini bisa lebih ditata, karena batuan-batuan tajam juga curam masih terlihat menyembul di sana-sini, jalan yang licin jika terkena air juga berpotensi membuat pengunjung celaka jika tidak hati-hati.

    “Apalagi ketika pengunjung sedang ramai-ramainya seperti ini, kita para penjaga suka takut, hemar-hemir, takutnya ada yang terjatuh atau bagaimana. Tapi Alhamdulillah selama ini aman-aman saja,” ujarnya lagi.

    Rijal menambahkan, berhubung biasanya memasuki jam empat sore tempat itu akan tampak agak mencekam, selaku penjaga dirinya juga berharap kedepan di tempat itu bisa dipasang lampu penerangan, itu karena, sampai jam lima sore pun biasanya masih saja ada yang berkunjung ke tempat itu.

    Sebetulnya, menurut Rijal, ada poe larangan (hari larangan) yang diberlakukan sesepuh desa jaman dulu untuk mata air itu, yang dimaksudkan agar penduduk atau siapapun jangan mengunjungi mata air itu pada hari-hari tertentu, yaitu hari Selasa dan hari Jumat. Tapi berhubung pengunjung selalu membludak, mau tidak mau poe larangan itu harus dilanggar.

    “Karena kasihan juga kalau ada yang datang dari jauh pas hari-hari itu, masak iya disuruh pulang lagi?” kata Rijal.
    Sirah Cilembang, Jadi Tempat Favorit Baru Untuk Berselfie
    Rijal percaya, poe larangan tersebut diterapkan oleh sesepuh-sesepuh desa jaman dulu untuk menjaga keberadaan dan keberlangsungan mata air itu sendiri, agar mata air itu tetap lestari. Seperti halnya manusia yang sewaktu-waktu memerlukan waktu untuk menyendiri, begitu juga dengan alam, tidak bijak jika terus menerus mengeksploitasi tanpa membiarkannya beristirahat, karena jaman dulu tempat itu menjadi sumber air yang sangat vital bagi penduduk, dimana penduduk mengambil air dari tempat itu setiap harinya.

    Selain poe larangan, Rijal menyebutkan ada juga pamali yang tidak boleh dilakukan di tempat itu, yaitu jangan pernah membawa terasi ke tempat mata air itu berada.

    “Tapi pamali itu pernah ada yang melanggar, apalagi poe larangan itu, sekarang pasti dilanggar karena banyaknya pengunjung. Tapi toh, tidak terjadi apa-apa. Karena pamali dan poe larangan itu pastinya sama sekali tidak berkaitan dengan hal-hal mistis, tapi murni untuk menjaga tempat ini agar tetap lestari,” pungkas Rijal.

    Curug Ciwalur, Potensi Wisata Kecamatan Jatinunggal

    $
    0
    0
    Puncak Curug Ciwalur. Image By :instagram @jatinunggal
    Selamat sore sahabat. Di sore yang cerah menjelang akhir pekan ini, apa sobat punya rencana menghabiskan akhir pekan dengan mengeksplorasi alam? Jika iya, sobat bisa coba berkunjung ke salah satu air terjun yang ada di Sumedang, Curug Ciwalur namanya. Ya, curug atau air terjun yang berada di Dusun Pasir Padang, Desa Jatinunggal, Kecamatan Jatinunggal, Kabupaten Sumedang ini bisa masuk list liburan bagi sobat yang senang ngabolang atau jajarambahan.

    Curug Ciwalur, air terjun eksotis yang mempunyai ketinggian sekitar dua puluh meter-an ini akan sangat menggoda bagi para petualang, itu karena, untuk mencapai curug ini benar-benar tidak mudah. Mereka yang ingin melihat keindahan curug ini terlebih dahulu harus menerobos sawah dan hutan untuk sampai ke lokasi. Ditambah lagi, karena curug ini berada jauh di dalam hutan dan mempunyai medan jalan yang sulit, tidak ada kendaraan yang bisa sampai ke sini.

    Itu sebabnya, pastikan kesehatan sobat terjaga jika ingin berkunjung ke curug ini. Itu karena, dari rumah terakhir yang bisa dijumpai, perjalanan menuju curug ini masih panjang, kira-kira dua jam perjalanan lagi dengan berjalan kaki menerobos hutan dan sawah. Jika membawa kendaraan, otomatis kendaraan harus dititipkan di rumah warga setempat.
    Curug Ciwalur Jatinunggal. Image By :sakolabumi.com
    Karena sulitnya medan menuju air terjun itulah, sampai saat ini Curug Ciwalur masih sangat jarang yang mengunjungi, jangankan wisatawan dari luar kota, orang Sumedangnya sendiri mungkin belum banyak yang tahu tentang keberadaan Curug Ciwalur karena memang kurang terekspose sebagai salah satu potensi wisata di Sumedang. Mereka yang datang ke curug ini hanya warga sekitar, dan para petualang yang mengetahui keberadaannya berdasar kabar atau berita dari mulut ke mulut.

    Di tempat air terjun ini berada, kita bisa melihat pemandangan yang sangat indah dan udara yang masih bersih. Apalagi jika kita berhasil naik sampai ke puncak air terjun, udara segar akan semakin terasa, pemandangan pun akan semakin indah karena kita bisa melihat alam yang terbentang luas, desa-desa di sekitaran Jatinunggal, bahkan sampai kabupaten tetangga pun bisa terlihat dari titik itu.

    Ditambah lagi, keberadaan binatang-binatang liar yang ada di lokasi seperti ular, burung, dan monyet dijamin akan memberikan sensasi berbeda bagi siapa saja yang berkunjung ke curug ini. Batuan dibalik curug yang tertutup “tirai” air itu dulunya terbentuk dari batuan vulkanik sisa-sisa letusan gunung api purba di Sumedang, ia terbentuk dari magma yang meleler keluar dari gunung api ke daerah yang lebih rendah. Sejarah masa lalu terbentuknya air yang tercurah secara vertikal ini tentunya akan menambah daya tariknya.

    Sayangnya, meski sangat potensial untuk dijadikan objek wisata, sampai saat ini Curug Ciwalur sama sekali belum dikelola oleh pihak manapun, adapun oleh penduduk, air yang berasal dari Curug Ciiwalur hanya dimanfaatkan untuk keperluan irigasi. Mudah-mudahan saja kedepannya Curug Ciwalur ini bisa lebih terekspose dan menjadi salah satu daya tarik wisata air terjun di Sumedang, seperti Curug Gorobog, Curug Ciputrawangi, Curug Cinulang, Curug Sabuk, dan curug-curug lainnya yang sudah lebih dulu dikenal khalayak.

    Tampomas Pagi Hari

    $
    0
    0
    Pemandangan Gunung Tampomas Pagi Hari
    Pemandangan Gunung Tampomas Pagi Hari
    Pemandangan Gunung Tampomas di Pagi HariFoto ini dibuat setahun yangg lalu dan lokasinya tak jauh dari rumah/tempat tinggal, Lingkungan Darangdan Kelurahan Kota Kulon, Sumedang.

    Pagi itu dapat moment Golden Hours, atau saya biasa bilang waktu langit warna kuning keemasan (kata saya ini mah). Biar telat tapi masih bisa motret, biarpun hasilnya tak sebagus fotografer pro. Syukuri, Alhamdulillah. Tapi dilokasi ini sekarang sudah banyak rumah, hamparan sawah berubah jadi rumah.

    Photo & Teks By @hindrakomara_
    Viewing all 114 articles
    Browse latest View live